Bulan Agustus, 1972.
Semua hari adalah baik, Roro Mitasih meyakini itu. Ia bangun pukul lima pagi, setelah azan subuh lamat-lamat berganti alunan dzikir orang-orang suci. Tungku dapur sudah mengepul. Bulik Karti, wanita yang membantu pekerjaan di rumahnya, sedang menjerang air. Entah jam berapa wanita paruh baya dengan uban yang tak malu-malu tumbuh itu bangun.
Secangkir kopi dalam gelas lurik kesayangan bapak sudah siap. Tinggal menunggu ubi yang masih dikukus di atas tungku. Bapak lebih menyukai sarapan semacam itu ketimbang nasi dan lauk. Kadang diselingi dua butir telur setengah matang dan segelas susu hangat.
Biasanya, setelah sarapan singkat, bapak akan buru-buru menyambar tas miliknya, lalu berangkat ke sekolah dengan sepeda motor merah bersama Roro Mitasih. Baginya, bagian terbaik dalam hidup adalah menjadi suami Rahmi, memiliki anak bernama Roro Mitasih dan menjadi guru dengan bayaran setandan pisang atau setangkup ubi, atau tidak sama sekali.
Roro Mitasih menghidupkan radio, memukul-mukul pelan benda itu bila gelombangnya masih juga belum jernih meski antena sudah ditarik hingga menjulang. Kesibukannya di depan benda kotak itu hanya akan berhenti saat lagu-lagu kesukaan bapaknya terdengar jernih. Banginya, itu cara terbaik membangunkan bapak.
Roro Mitasih menuju kamar bapak, mengetuk pintunya beberapa kali, “Bapak ... bapak ... sarapan sudah siap.” Lama tidak ada jawaban, Roro masuk. Bapak tertidur pulas, matanya terpejam rapat, mulutnya setengah terbuka, tetapi tidak ada ibu di sampingnya. Ke mana ibu? Roro mematikan lampu minyak dan membuka tirai agar cahaya matahari masuk.
“Pak ... bapak ... bangun.” Roro menghampiri bapak dan mengguncangkan tubuh laki-laki itu berulang ulang. Tubuhnya kaku, kulitnya dingin. Gadis itu mundur selangkah, jari mungilnya bergetar membekap mulutnya sendiri.
“Bapaaakkk!” Akhirnya suara yang tertahan keluar dengan nyaring. Mengagetkan seisi rumah. Bulik Karti yang pertama kali menyerobot masuk.
“Bapak kenapa?” Tanya wanita itu, Roro hanya menunjuk ke arah bapaknya yang masih juga belum bangun.
“Sudah kubangunkan, tapi tidak mau bangun.”
“Ibumu ke mana?”
Roro Mitasih menggeleng kasar.
Kamar sudah sesak dengan orang-orang. Dokter membuka kelopak mata bapak perlahan, lalu menyalakan senter ke salah satu bola mata dari kanan ke kiri perlahan untuk melihat lingkaran paling kecil di tengah bola mata. Lalu, meletakkan dua jari tangan pada leher bagian samping bawah jakun bapak.
“Beliau sudah meninggal.”Kata pria berjas putih itu di sela helaan napas.
“Fatih ...! Fatih ...! “ Rahmi menerobos kerumunan orang yang mulai memenuhi ruangan. Sepertinya ia tidak sadar, satu kancing bajunya terlepas, rambutnya acak-acakan.
Wanita itu mengguncang tubuh suaminya, tetapi mata lelaki itu tetap terpejam. Isak tangis mulai terdengar, dari kamar, lalu dapur, ruang tamu, teras, jalanan, lalu seluruh desa.
***
Awan menggantung di atas pemakaman umum desa. Berwarna kelabu seperti hati para pelayat siang itu. Hampir tak bercahaya, meski hujan selesai menyemai tanah yang basah dinaungi pohon kamboja dengan bunga warna merah, putih dan kuning.
Seusai mengakhiri doa dengan memasang nisan kayu bertulisakan Fatih Kamil Bin Siam, Roro menatap lurus ke gundukan tanah yang baru saja tertimbun. Beberapa warga memaksanya pulang. Tidak ada lagi air mata meski pisau tak kasat mata masih menancap di dada seorang gadis kecil umur 9 tahun.
***
Perpisahan akan selalu ada karena kita manusia. Akan tiba saatnya tawa berubah derai air mata. Jika saja ada jalan tembus menujumu. Tentu aku akan ke sana.
Roro Mitasih duduk termenung menatap hujan. Wajahnya berubah biru, dialiri air mata yang mulai mengkristal karena tidak mau dihibur siapapun. Ia mengenakan gaun putih bersih, dengan selendang abu-abu yang dikaitkan pada leher mungilnya.
Para pelayat sibuk menyiapkan doa untuk ayahnya, tetapi Roro Mitasih sama sekali tidak peduli pada mereka yang berlalu-lalang di depannya. Jarinya menuliskan sebuah nama di atas tanah: Bapak.
Gadis itu tidak menyadari bahwa ia telah jatuh hati pada ayahnya hingga ia kehilangannya. Matanya yang sembab melihat ke arah ayunan yang basah seakan berkata, “Marilah kita bermain ayunan lagi. Di atasnya kita bicara, kita bicara. Banyak ruang di dunia ... tapi aku ingin duduk di pangkuan ayah saja ...”
Sementara di dalam kamar tempat ayahnya menghembuskan napas terakhir, ibunya menagis sembari bersandar pada bahu seorang lelaki.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI