Mohon tunggu...
Mutia Masugi
Mutia Masugi Mohon Tunggu... Administrasi - Story Teller Relief Candi Borobudur dan penulis buku dongeng anak Pangeran Sudhana dan 17 Kisah Lainnya berbasis seni membaca Relief Candi Borobudur

Mudahnya berbagi lewat apa saja, termasuk berbagi kisah-kisah sederhana yang mampu membangun karakter.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Roro Mitasih

26 Maret 2021   04:50 Diperbarui: 26 Maret 2021   05:28 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi by Pinterest

Roro Mitasih menggeleng kasar.

Kamar sudah sesak dengan orang-orang. Dokter membuka kelopak mata bapak perlahan, lalu menyalakan senter ke salah satu bola mata dari kanan ke kiri perlahan untuk melihat lingkaran paling kecil di tengah bola mata. Lalu, meletakkan dua jari tangan pada leher bagian samping bawah jakun bapak.

“Beliau sudah meninggal.”Kata pria berjas putih  itu di sela helaan napas.

“Fatih ...! Fatih ...! “ Rahmi menerobos kerumunan orang yang mulai memenuhi ruangan. Sepertinya ia tidak sadar, satu kancing bajunya terlepas, rambutnya acak-acakan. 

Wanita itu mengguncang tubuh suaminya, tetapi mata lelaki itu tetap  terpejam. Isak tangis mulai terdengar, dari kamar, lalu dapur, ruang tamu, teras, jalanan, lalu seluruh desa.

***

Awan menggantung di atas pemakaman umum desa. Berwarna kelabu seperti hati para pelayat siang itu. Hampir tak bercahaya, meski hujan selesai menyemai tanah yang basah dinaungi pohon kamboja dengan bunga warna merah, putih dan kuning.

Seusai mengakhiri doa dengan memasang nisan kayu bertulisakan Fatih Kamil Bin Siam, Roro menatap lurus ke gundukan tanah yang baru saja tertimbun. Beberapa warga memaksanya pulang. Tidak ada lagi air mata meski pisau tak kasat mata masih menancap di dada seorang gadis kecil umur 9 tahun. 

***

Perpisahan akan selalu ada karena kita manusia. Akan tiba saatnya tawa berubah derai air mata. Jika saja ada jalan tembus menujumu. Tentu aku akan ke sana.

Gambar ilustrasi by Pinterest
Gambar ilustrasi by Pinterest
Roro Mitasih duduk termenung menatap hujan. Wajahnya berubah biru, dialiri air mata yang mulai mengkristal karena tidak mau dihibur siapapun. Ia mengenakan gaun putih bersih, dengan selendang abu-abu yang dikaitkan pada leher mungilnya.

Para pelayat sibuk menyiapkan doa untuk ayahnya, tetapi Roro Mitasih sama sekali tidak peduli pada mereka yang berlalu-lalang di depannya. Jarinya menuliskan sebuah nama di atas tanah: Bapak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun