Roro Mitasih menggeleng kasar.
Kamar sudah sesak dengan orang-orang. Dokter membuka kelopak mata bapak perlahan, lalu menyalakan senter ke salah satu bola mata dari kanan ke kiri perlahan untuk melihat lingkaran paling kecil di tengah bola mata. Lalu, meletakkan dua jari tangan pada leher bagian samping bawah jakun bapak.
“Beliau sudah meninggal.”Kata pria berjas putih itu di sela helaan napas.
“Fatih ...! Fatih ...! “ Rahmi menerobos kerumunan orang yang mulai memenuhi ruangan. Sepertinya ia tidak sadar, satu kancing bajunya terlepas, rambutnya acak-acakan.
Wanita itu mengguncang tubuh suaminya, tetapi mata lelaki itu tetap terpejam. Isak tangis mulai terdengar, dari kamar, lalu dapur, ruang tamu, teras, jalanan, lalu seluruh desa.
***
Awan menggantung di atas pemakaman umum desa. Berwarna kelabu seperti hati para pelayat siang itu. Hampir tak bercahaya, meski hujan selesai menyemai tanah yang basah dinaungi pohon kamboja dengan bunga warna merah, putih dan kuning.
Seusai mengakhiri doa dengan memasang nisan kayu bertulisakan Fatih Kamil Bin Siam, Roro menatap lurus ke gundukan tanah yang baru saja tertimbun. Beberapa warga memaksanya pulang. Tidak ada lagi air mata meski pisau tak kasat mata masih menancap di dada seorang gadis kecil umur 9 tahun.
***
Perpisahan akan selalu ada karena kita manusia. Akan tiba saatnya tawa berubah derai air mata. Jika saja ada jalan tembus menujumu. Tentu aku akan ke sana.
Para pelayat sibuk menyiapkan doa untuk ayahnya, tetapi Roro Mitasih sama sekali tidak peduli pada mereka yang berlalu-lalang di depannya. Jarinya menuliskan sebuah nama di atas tanah: Bapak.