MAMAT SANREGO
KETUA UMUM DPP-LIMIT
Â
Mamat : "Sistem Pengawasan OJK kepada Bank Belum Optimal"
Sebagai salah satu sektor jasa yang sangat mengandalkan kepercayaan dari beberapa pihak, seperti industri perbankan yang kita ketahui Ujar Mamat, memiliki sensitivitas yang tinggi dalam pengelolaan bisnis Jasa Keuangan. Sensitivitas tersebut ditunjukkan dalam respon pasar atas opini tertentu. Semakin baik opini terkait industri perbankan, semakin positif pula respon pasar terhadap industri perbankan, dan begitu pula sebaliknya. Seperti yang dapat saya Contohkan dan nyata dapat dilihat dalam krisis yang terjadi dalam 3 Tahun Terakhir ini.
Kata mamat, Atas pengalaman krisis tersebut, Pemerintah RI menyadari betul betapa pentingnya pengawasan industri perbankan guna menjaga citra dan nama baiknya kedepan, sehingga diperlukan agat memisahkan otoritas moneter (BI) dengan otoritas perbankan yaitu dengan menghadirkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas perbankan dan jasa keuangan yang sekaligus menunjukkan keseriusan dan political will dari pemerintah dalam menjaga iklim industri perbankan.
Dasar hukum pembentukan OJK adalah UU No. 20 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, akan tetapi lembaga ini baru terbentuk setahun setelahnya, yakni tahun 2012. Dalam periode pertama terbentuknya OJK, masih dimaklumi adanya proses peralihan pengawasan dan otoritas dalam sektor perbankan yang awalnya melalui Bank Indonesia yang kemudian beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan. Tercatat Bank Indonesia memerlukan persiapan hingga tanggal 31 Desember 2013 untuk mempersiapkan peralihan tugas pengawasan perbankan kepada OJK. Hal ini berarti OJK telah melakukan kewenangan otoritas pengawasan sektor perbankan sudah kurang lebih 6 tahun.
Dalam kurun waktu tersebut, diakui ada peningkatan dalam industri perbankan, khususnya dalam sisi kepatuhan. Akan tetapi dalam hal kesadaran perlindungan konsumen, bank masih belum memiliki perhatian dan kepedulian terhadap perlindungan konsumen. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya keluhan masyarakat perihal penanganan keluhan konsumen oleh bank yang dinilai lamban, berbelit dan tidak ada kepastian. Hal ini ditambah dengan minimnya keterlibatan OJK selaku regulator dalam masalah ini.
Hal tersebut ujar Mamat, telah menunjukkan pengawasan yang dilakukan oleh OJK selama ini belum optimal, karena berdasarkan Pasal 4 huruf (c) UU OJK, salah satu tujuan dibentuknya OJK adalah "melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Secara regulasi, sebenarnya ketentuan perlindungan konsumen telah cukup baik, mengingat pengakuan dan jaminan terhadap 4 (empat) hak dasar konsumen sudah diakui dalam sistem hukum Negara Kita. Hal tersebut ditambah dengan lingkup kewenangan OJK yang cukup komprehensif dalam hal pengawasan. Bentuk pengawasan perbankan dapat meliputi pengaturan dan pengawasan baik dalam hal kelembagaan bank, kesehatan bank, prinsip kehati-hatian dan pemeriksaan bank.
Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip yang diatur dalam G20 High-Level Principle on Financial Consumer Protection, yaitu sistem hukum yang mendukung perlindungan konsumen, termasuk di dalamnya, ketentuan regulasi (regulatory), pengawasan (supervisory), dan aspek legal. Hal tersebut ditegaskan kata mamat, "ingat itu sebagai satu kesatuan dan tidak berdiri sendiri-sendiri".
Menurut Aktifis di Tahun 90 an ini pula, Yang kemudian menjadi masalah adalah bagaimana pelaksanaan dan penegakan terhadap regulasi yang baik di lingkungan masyarakat secara langsung. Sebagai contoh, setiap bank yang ingin mengeluarkan suatu produk perjanjian yang berisi klausula baku seharusnya terlebih dahulu melaporkan ke OJK dan dilarang digunakan sebelum mendapat persetujuan dari OJK. Namun dalam Prakteknya sampai detik ini hanya sebatas laporan atau belum sampai pada pengawasan dan evaluasi atas isi dari produk klausula baku tersebut. Akibatnya kata Mamat, konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan dalam kondisi ini. Padahal idealnya upaya perlindungan konsumen harus terus dilakukan sembari menunggu kemampuan Konsumen dalam melindungi dirinya dari setiap Perikatan yang merugikan.
Bahwa penyaluran KPR yang dilakukan oleh bank-bank, masih banyak kekurangan dan merugikan konsumen. Kekurangan tersebut dapat di contohkan kata mamat, terkait salah satu konsumen (H. Syarif) yang menjadi Korban dari ulah salah satu oknum Bank dan oknum Developer, Dimana kejadiannya saat Korban membeli Ruko di Jalan Antang Raya dengan cara membayar Cash Lunak kepada Develover, dan pihak developer tidak membuatkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan lalu kemudian disaat konsumen (H. Syarif) hendak membayar Pelunasan kepada pihak Developer, justru Sertipikatnya sengaja dijaminkan oleh Developer ke salah satu Bank dimakassar, Hal ini terjadi karena :
- Pihak Bank tidak melaksanakan Asas Kehati-hatian, utamanya dalam meneliti Agunan yang menjadi Objek Jaminan Kredit.
- Syarat yang harus dipenuhi oleh Developer atas Surat Pernyataan agunan yang intinya "tidak dalam Penguasaan pihak lain atau telah dijual oleh Developer" sudah tidak lagi menjadi syarat-syarat Mutlak bagi setiap Calon Debitur Bank tersebut.
- Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara bank dan developer kurang melindungi konsumen seperti halnya Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang selama ini dibuat oleh bank dan developer sebagai bagian dari manajemen risiko dalam penyaluran KPR, dinilai tidak maksimal dalam memberikan proteksi bagi kepentingan konsumennya Developer.
- Proses Penawaran dan Penyampaian Informasi terkait produk perbankan terdapat Permasalahan disaat Praktik di lapangan, yang menunjukkan bahwa tenaga pemasaran bank selama ini kurang memberikan informasi dan pemahaman yang cukup terkait profil produk dan detil perjanjian, khususnya terhadap klausul yang sifatnya penting mengenai dampak hukum yang mungkin timbul dari perjanjian antara Bank dan Debitur (Developer) dan pada akhirnya mengorbankan Konsumen dari Developer.
- Program Edukasi yang hanya sekedar formalitas terkait literasi keuangan yang diberikan oleh bank kepada Debitur. Selama ini bank tidak menempatkan program edukasi kepada konsumen langsung, yang justru hanya kepada pihak Developer sebagai prioritas, hal ini tentu hanya bersifat pemenuhan atas regulasi yang disusun oleh regulator dan pada akhirnya Konsumen yang merasa dirugikan, utamanya Konsumen dari pihak Developer.
Belum lagi Lemahnya pengawasan pemerintah dan Pemerintah Daerah, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, terhadap usaha yang dilakukan oleh developer, "membuat bank menjadi ujung tombak dalam perlindungan konsumen disaat pembelian rumah melalui KPR", Regulasi yang selama ini dibentuk secara garis besar sudah dinilai cukup baik, bagi pemenuhan prinsip kehati-hatian guna menjaga kondisi industri perbankan yang seharusnya senantiasa sehat dan menopang pembangunan nasional. Akan tetapi, regulasi yang terkait dengan pemberian proteksi secara langsung terhadap konsumen masih sangat lemah.
Sebagian besar peraturan pelaksana yang dibentuk oleh Bank Indonesia ataupun OJK terkait KPR hanya berkisar pada penerapan manajemen risiko. Salah satunya adalah soal Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang diatur dalam Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP/2013, akan tetapi dalam regulasi tersebut tidak diatur lebih lanjut perihal apa saja yang harus menjadi wajib, diperbolehkan, dan dilarang diatur dalam PKS guna menjamin perlindungan terhadap konsumen. Akibatnya PKS yang ada saat  ini lebih bersifat "hanya untuk kepentingan usaha kedua belah pihak dengan meninggalkan kepentingan konsumen". Ujar Mamat Sanrego
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H