"Kariiin.....cepetan makan ! Keburu makanan dingin, ibu nggak mau manasin lagi ! Capek " tiba-tiba suara ibu terdengar sangat keras, membuyarkan percakapan kami. Aku melambaikan tangan ke arahnya, kamipun berpisah.
Di meja makan, sambil mengunyah makanan dengan perlahan, tiba-tiba ayah bertanya dengan nada pelan, "Karin....apakah kebiasaanmu bicara dengan cermin masih belum kauhentikan ?"
"Sepertinya Karin masih harus terus melanjutkan sesi terapi dengan dokter, yah" jawab ibu berbisik pelan sekali. Ia tak tahu bahwa telingaku mampu mendengarnya dengan baik.
Dari sudut mata , kulihat ayah mengangguk. Raut mukanya nampak muram.
"Kalian & dokter tua itu sama sama nggak memahami aku. Kenapa sekedar bermonolog saja dianggap kelainan jiwa ? Bukankah aktor aktris jg biasa bermonolog ? " protesku
"Tapi kamu tidak sedang berakting nak...kamu bukan aktris" sergah ayah
"Ayah, kita ini pelakon dalam hidup. Masing-masing orang memainkan drama. Berpura-pura. Realitas itu hanya omong kosong. Lantas apa bedanya dengan aktor ? Self talk begini hal biasa, ayah "
"Itu hal beda Karin. Self talk tidak menciptakan bayangan...."
Aku diam tak menjawab.
"Dan realitas hidup adalah sesuatu yg nyata nak...bukan drama. Mungkin ada banyak kepalsuan dalam sikap orang, tapi tak berarti semuanya begitu"