Mohon tunggu...
Mamat AS
Mamat AS Mohon Tunggu... Guru - Suka bertani

biar ganting asal kada pagat

Selanjutnya

Tutup

Diary

Protes sang Jangkrik

26 Juni 2024   21:27 Diperbarui: 26 Juni 2024   21:37 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KRIK... krik... krik... krik....

Sang Jangkrik melompat dari satu tempat ketempat yang lain. Gesit. Lucu sekali. Sang Jangkrik berkerik sambil memamerkan pahanya yang indah. Dengan santai Sang Jangkrik menikmati ketenangan hidupnya tanpa kerusuhan dan gangguan. Ia bebas berkreasi semaunya. Yang ada dalam benaknya adalah melompat, melompat dan melompat lagi. Lalu berkerik, berkerik, dan berkerik lagi. Tanpa ada batasan yang mengungkung jiwanya dengan doktrin dan idiom-idiom palsu yang dipaksakan.

Ia bebas merdeka dengan seninya sendiri, dengan kemerdekaannya sendiri, dengan ketelanjangannya sendiri. Ia puas dan merdeka tanpa idiom, tanpa aliran, tanpa katak di dalam kotak, tanpa kotak di dalam otak! Betapa indahnya hidup di dunia jangkrik tanpa aliran, doktrin, idiom. Tak ada musuh atau lawan. Tak ada pertentangan berkepanjangan yang tiada habis-habisnya. Tak ada perbedaan yang membuat mereka jadi berbeda. Tak ada perbedaan yang menciptakan suasana jadi berbeda-beda. Semua terasa adil dan nyaman. Semua lega. Semua bisa bernapas dengan leluasa. Dunia mereka terasa jadi sangat luas tak berbatas.

Tetapi tiba-tiba di suatu hari kehidupan Sang Jangkrik kisruh. Perkampungannya diobrak-abrik. Suasana jadi kacau sekali. Semua pada menyelamatkan diri sendiri, sendiri-sendiri. "Yang penting selamat, dah!" Katanya. Hingga lupa sama anak, istri, menantu, mertua, ponakan, tetangga dan kucing piaraan. Namun  akhirnya Sang Jangkrik tertangkap juga. Lalu dimasukan kedalam kotak korek api.

Pastinya, di dalam kotak tersebut Sang Jangkrik kegelapan. Gak bisa liat apa-apa. Ternyata Sang Jangkrik akan dijadikan alat, obyek proyek adu berkerik. Sang Jangkrik disuruh paksa berkelahi dengan sesamanya, saudaranya sendiri, keluarganya sendiri, tetangganya sendiri, anaknya sendiri, ibunya sendiri, bangsanya sendiri! 

Sang Jangkrik tega tidak tega suka tidak suka mau tidak mau mentolo ora mentolo, pokoknya harus mau diadu berkelahi oleh mahluk yang tidak jelas motif hidupnya. Sutradarakah atau komposerkah? Politikuskah atau kritikuskah? Senimankah atau senewenkah? Agamawankah atau gegamangkah? Semua pada tidak jelas identitasnya. Tapi suaranya nyaring, arusnya deras, hembusannya kuat, dan jumlanya banyak. Sang Jangkrik bukan diadu untuk mencari yang menang atau yang kalah, tapi hanya supaya Sang Jangkrik BERKERIK! Krik... krik... krik... krik.... Karena Sang Jangkrik tidak mau berkerik ketika iklim cuaca sedang panas-panasnya.

          Sang Jangkrik kecewa. Ia menyesali dirinya. Mengapa ia hidup ditakdirkan menjadi jangkrik. Mahluk yang tak bertulang belakang, lembut, kaya protein dan enak dibikin pepes. Mungkinkah ia mesti protes pada tuhan? Tapi kemana arah tuhan? Beribu pertanyaan dalam benaknya bejubel berebutan keluar melalui sungutnya yang tampak klimis.

Sang Jangkrik berpikir mengapa ia tidak ditakdirkan jadi seniman saja? Atau jadi penyair. Ya, jadi penyair! Sebab jadi penyair bisa bicara sesuka hati. Bisa mengumpulkan beribu-ribu kata lewat komunitas (_manifesto, amandemen, deklarasi, ikrar, slogan, mosi, edaran, surat pembaca, lembar budaya, tajuk, naskah, buku, kritik, antologi, kolom, esai, opini, puisi, syair_) dan sejuta cara untuk meyakinkan untuk yang masih terkungkung kemiskinan bahasa.

Tapi Sang Jangkrik tidak tahu kalau menjadi penyair sungguh lebih sulit. Walau memang sebenarnya menjadi penyair tidak ada yang memaksa untuk 'berkerik.' Dan seorang penyair tidak pula diangkat lalu dilantik dan diturunkan statusnya oleh seorang penguasa atau komunitas sastrawan. Semua berjalan sesuai apa yang ada dalam pikiran masing-masing.

Mereka membentuk kelompok, komunitas, koloni, mazhab, idiom, doktrin, aliran, standar, kritik, debat, pemimpin, begawan, presiden, raja, atau paus sendiri. Akhirnya ribut sendiri, sesuka suka-sukanya.

Kesukaan berlebihan menjadikan sastra mereka menjadi terkotak. Maka di sinilah letak sulitnya. Karena di dunia penyair tidak ada yang mengajak dan tidak ada pula yang menolak ikut bergabung. Namun tanpa ajakan dan tolakan itu mereka akan di lindas oleh arus deras yang lewat. Semua tidak mau itu. Lebih baik cari selamat. Karena tidak enak susah. Mungkin enggak terbiasa susah!

          Kesukaan mereka pada ketakterbebasan kreasi, tanpa sadar mereka telah menciptakan sebuah dunia sendiri dalam dinamikanya bermain sastra. Sebuah dunia lain yang kadang sangat membangongkan untuk awam. Juga tidak lucu! Dunia sastra yang tidak lucu.  Penuh trik dan intrik yang tidak perlu!

          Penyair adalah orang yang (dapat dipastikan harus) sangat terbuka pada apapun di mana pun dan bagaimana pun. Ternyata justru menjadi sangat tertutup untuk sesuatu yang dianggap berbeda idiom! Mengerikan! Sungguh gejala yang membuat bulu kuduk generasi sastra enggan untuk berdiri. Perbedaan wilayah waktu tidur jadi persoalan. Perbedaan letak kumis sang presiden dan rajanya jadi perdebatan. Perbedaan kuburan ari-ari kaumnya dijadikan alasan. Perbedaan ubun-ubun dan tanggalnya tali pusat jadi permusuhan. Perbedaan hasil panen jadi gawean. Perbedaan komoditas lahan jadi pertengkaran.

Semua sengaja dibuat perbedaan dengan fenomena pertengkaran yang unik dan menjadi ciri khas yang dapat mudah dikenali struktur problemanya. Perbedaan ini timbul, disadari, dan terasa sangat menyakitkan tapi, toh tetap dipertahankan kehadirannya tanpa mau mencoba untuk memusnahkan virus penyebab penyakit tersebut.

Apakah gejala ini seperti guyonan orang dahulu, "seperti makan urat paha sapi, digigit alot dibuang, kok, ya masih enak dan sayang!"

Sang jangkrik tidak tau (memang jangkrik tidak mengerti bahasa orang) bahwa di alam manusia keadaanya sekarang sungguh tidak terkendali. Serba kekurangan dan serba berlebihan. Kacau sekali. Terkadang penyair dikarbit dan mengkarbit diri untuk menjadi orang penting didunianya, yang nantinya diharapkan dapat meluncur atau diluncurkan pada orbit yang tinggi. Walhasil penyair tersebut menjadi herder dengan fasilitas yang serba wah-mewah, sementara yang lain tetap pada orbit yang terendah dan terpelosok hidup berbagi makan bekas tikus malam. Segalanya serba kekurangan. Serba susah. Nah, ternyata jadi herder lebih enak!  

Tetapi demikian, dengan semua persoalan yang ada, setiap orang yang masuk kedalamnya disadari atau tidak, akan terkuras energinya terus-menerus tanpa bisa menghindar. Aneh bukan? Dan ini masih dan masih berlanjut tanpa ada yang mampu membuatnya berhenti. Berlanjut sampai generasi datang sudah tidak peduli lagi! 

Sang jangkrik hanya manggut-manggut, entah mengerti atau mengantuk. Krik... krik... krik... krik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun