Kesukaan mereka pada ketakterbebasan kreasi, tanpa sadar mereka telah menciptakan sebuah dunia sendiri dalam dinamikanya bermain sastra. Sebuah dunia lain yang kadang sangat membangongkan untuk awam. Juga tidak lucu! Dunia sastra yang tidak lucu.  Penuh trik dan intrik yang tidak perlu!
     Penyair adalah orang yang (dapat dipastikan harus) sangat terbuka pada apapun di mana pun dan bagaimana pun. Ternyata justru menjadi sangat tertutup untuk sesuatu yang dianggap berbeda idiom! Mengerikan! Sungguh gejala yang membuat bulu kuduk generasi sastra enggan untuk berdiri. Perbedaan wilayah waktu tidur jadi persoalan. Perbedaan letak kumis sang presiden dan rajanya jadi perdebatan. Perbedaan kuburan ari-ari kaumnya dijadikan alasan. Perbedaan ubun-ubun dan tanggalnya tali pusat jadi permusuhan. Perbedaan hasil panen jadi
gawean. Perbedaan komoditas lahan jadi pertengkaran.Semua sengaja dibuat perbedaan dengan fenomena pertengkaran yang unik dan menjadi ciri khas yang dapat mudah dikenali struktur problemanya. Perbedaan ini timbul, disadari, dan terasa sangat menyakitkan tapi, toh tetap dipertahankan kehadirannya tanpa mau mencoba untuk memusnahkan virus penyebab penyakit tersebut.
Apakah gejala ini seperti guyonan orang dahulu, "seperti makan urat paha sapi, digigit alot dibuang, kok, ya masih enak dan sayang!"
Sang jangkrik tidak tau (memang jangkrik tidak mengerti bahasa orang) bahwa di alam manusia keadaanya sekarang sungguh tidak terkendali. Serba kekurangan dan serba berlebihan. Kacau sekali. Terkadang penyair dikarbit dan mengkarbit diri untuk menjadi orang penting didunianya, yang nantinya diharapkan dapat meluncur atau diluncurkan pada orbit yang tinggi. Walhasil penyair tersebut menjadi herder dengan fasilitas yang serba wah-mewah, sementara yang lain tetap pada orbit yang terendah dan terpelosok hidup berbagi makan bekas tikus malam. Segalanya serba kekurangan. Serba susah. Nah, ternyata jadi herder lebih enak! Â
Tetapi demikian, dengan semua persoalan yang ada, setiap orang yang masuk kedalamnya disadari atau tidak, akan terkuras energinya terus-menerus tanpa bisa menghindar. Aneh bukan? Dan ini masih dan masih berlanjut tanpa ada yang mampu membuatnya berhenti. Berlanjut sampai generasi datang sudah tidak peduli lagi!Â
Sang jangkrik hanya manggut-manggut, entah mengerti atau mengantuk. Krik... krik... krik... krik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H