Mohon tunggu...
Siti Nur Rahmah
Siti Nur Rahmah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

hobi baca webtoon dan mempelajari hal baru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemajuan Teknologi: Antara Keterhubungan Digital dan Kehangatan Tradisional

12 April 2024   00:50 Diperbarui: 12 April 2024   01:13 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana Idul Fitri dibuat oleh penghasil gambar AI/dok.pri

Di tengah kemajuan teknologi yang kian merajalela, tersembunyilah ironi yang seringkali terlupakan: bahwa kemajuan itu sendiri kadang-kadang membawa kita ke degradasi moral. Perjalanan ini sering terlihat jelas saat kita merayakan momen-momen penting dalam kehidupan kita, seperti saat Idul Fitri tiba.

Sebuah perdebatan menarik muncul ketika kita melihat bagaimana teknologi telah memengaruhi cara kita merayakan momen-momen penting dalam kehidupan, seperti Idul Fitri. 

Dahulu kala, tanpa adanya ponsel pintar, kita melihat saudara-saudara kita bersilaturahmi dengan penuh kehangatan. Mereka saling berkunjung, bermaaf-maafan, dan berbagi kebahagiaan secara langsung. 

Namun, dengan kemajuan teknologi, tradisi ini tampaknya mengalami perubahan yang signifikan. Seakan-akan sebuah pesan di aplikasi pesan instan seperti WhatsApp sudah cukup untuk menggantikan kehangatan sebuah pelukan dan senyuman yang tulus. Kita hanya duduk menghadap layar gadget kita, mengetuk-ngetuk huruf-huruf di keyboard, dan mengirimkan kata-kata "Kami sekeluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin" tanpa harus merasakan/menunjukkan emosi yang sebenarnya.

Tentu saja, teknologi komunikasi telah memberikan kita banyak keuntungan. Kita bisa tetap terhubung dengan saudara yang berada di wilayah terpencil, bahkan menjaga komunikasi dengan mereka yang berada di belahan dunia lain, dan semua itu hanya dengan sekali sentuhan di layar. Namun, perlahan-lahan, kita mulai menyadari bahwa kemudahan ini juga memiliki sisi gelapnya.

Banyak dari kita mulai merasa bahwa kehadiran fisik bukanlah suatu keharusan lagi. Mengapa harus repot-repot datang jika kita bisa mengirimkan pesan singkat? Inilah ironi yang terjadi di tengah kita, terutama dengan para tetangga-tetangga kita. Padahal rumah mereka mungkin hanya di depan gang, di seberang atau bahkan di sebelah rumah kita, tetapi mereka lebih memilih untuk berkomunikasi melalui grup WhatsApp RT daripada berjumpa langsung.

Kita juga menyadari bahwa semakin majunya teknologi, semakin tipis pula alasan kita untuk menyambangi saudara yang hubungannya tidak terlalu akrab. Kita mungkin merasa bahwa menyapa atau mengirimkan ucapan lewat media sosial saja sudah cukup, tanpa perlu repot-repot berkunjung ke rumah mereka. 

Alasan lain pun bermunculan, seperti merasa canggung karena hubungan yang tidak terlalu dekat atau meninggalnya para orang tua tidak lagi memberi alasan untuk berkunjung atau mempertahankan tali silaturahmi dengan kerabat lainnya.

Di balik semua ini, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar bahagia dengan situasi ini? Apakah sebuah pesan singkat di layar gadget bisa benar-benar menggantikan kehangatan sebuah pelukan? Bukankah kebersamaan dan kedekatan yang kita rasakan saat bersilaturahmi adalah yang membuat momen itu begitu berharga?

Tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan dari interaksi manusia secara langsung. Melalui tatapan mata, senyuman, dan pelukan, kita bisa merasakan emosi yang sebenarnya. Itulah yang membuat silaturahmi menjadi begitu berarti dalam budaya kita, dan hal inilah yang mulai kita lewatkan dengan semakin tenggelamnya kita dalam dunia digital.

Namun, bukan berarti kita harus menolak kemajuan teknologi sepenuhnya. Teknologi adalah alat yang sangat berguna jika digunakan dengan bijak. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa teknologi telah membawa kita lebih dekat dengan mereka yang jauh. Ini adalah anugerah yang harus kita syukuri.

Mungkin saatnya kita kembali mempertimbangkan arti sebenarnya dari silaturahmi. Bukan hanya tentang menyampaikan ucapan, tetapi juga tentang merasakan kedekatan secara langsung. 

Teknologi seharusnya menjadi alat bantu untuk mempererat hubungan, bukan menggantikan sepenuhnya. Kita harus mengunakan teknologi dengan bijak, jangan sampai melupakan esensi dari kehidupan sosial yang sebenarnya, dan kita juga harus ingat bahwa kehadiran fisik, kebersamaan, dan kehangatan dalam berinteraksi adalah hal-hal yang tak tergantikan.

Jadi, di tengah semua kemajuan teknologi yang kita nikmati, jangan biarkan silaturahmi kita menjadi dingin. Mari kita kembali merangkul tradisi-tradisi yang telah mengakar dalam budaya kita, sambil tetap menjaga keterhubungan dalam dunia digital. Hanya dengan begitu kita bisa benar-benar merayakan Idul Fitri dengan penuh makna dan kehangatan, karena sebuah pelukan hangat jauh lebih berharga daripada seribu pesan singkat.

Saya ucapkan "Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.". 

Jika ada pembaca yang merasa tersinggung atas artikel yang selama ini saya tulis, saya mohon agar dibukakan pintu maaf yang sebesarnya, karena saya juga hanya seorang manusia yang banyak salahannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun