Bagi sebagian besar orang, Tunjangan Hari Raya (THR) adalah momen yang dinanti-nantikan setiap tahunnya. Ini adalah saat di mana kita merayakan kemenangan, kesuksesan, keberuntungan, dan memberikan sesuatu kepada orang-orang yang kita cintai. Namun bagi beberapa orang, termasuk saya dan suami saya, THR bukanlah kilauan yang menggembirakan, melainkan kekecewaan yang terus-menerus dalam beberapa tahun belakangan ini.
Suami saya, seorang honor tendik di salah satu Sekolah Dasar Negeri di wilayah DKI Jakarta, juga mengharapkan mendapatkan THR seperti halnya rekan-rekan kerjanya yang berstatus sebagai PNS/PPPK/KKI. Namun selama ini, THR bagi suami saya hanyalah sekadar impian yang terus melayang-layang. Setiap tahunnya, ketika momen ini tiba, tidak ada yang berubah bagi saya dan keluarga.Â
Di saat umat sedang mempersiapkan diri menyambut hari kemenangan, kami masih merasakan getirnya kehidupan. Penghasilan bulanan suami saya yang seharusnya cukup untuk menopang kebutuhan keluarga, setiap bulan harus dikurangi secara paksa. Dana BOS yang dikirimkan ke rekening pribadi suami saya yang seharusnya menjadi sumber penghasilan yang utuh bagi suami saya, selalu diminta kembali oleh pihak sekolah, lalu dipotong lebih dari separuhnya. Alasannya? Dana tersebut katanya akan dialihkan untuk menggaji tenaga honor lain yang bahkan tidak memiliki jabatan resmi dan menurut saya itu bukanlah tanggung jawab suami saya untuk menggaji mereka.
Perasaan kecewa sudah pasti melingkupi hati kami. Kepala Sekolah baru yang diharapkan dapat membawa keadilan bagi kami karena mau mendengarkan segala situasinya ketika beliau baru saja menjabat, malah sepertinya hanya mendengarkan tapi sambil menutup mata, dan kemudian tetap meneruskan segala praktik kotor Kepala Sekolah sebelumnya. Rasanya seperti diberi harapan palsu, diiming-imingi sesuatu yang indah namun pada akhirnya harus menerima kenyataan yang pahit.Â
Suami saya bekerja keras setiap hari untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga. Dia sering mengerjakan pekerjaan yang padahal bukan sesuatu yang harus dia kerjakan sebagai operator sekolah. Namun semakin lama, apapun yang dia lakukan di sekolah tersebut tetap tidak ada nilainya. Bahkan kabarnya "anak baru titipan Kepala Sekolah sebelumnya" yang tidak bisa apa-apa pun digaji lebih besar daripada gaji suami saya. Mengapa bisa begitu? Jelas saja, bendaharanya adalah keponakan dari Kepala Sekolah sebelumnya.
Dalam kenyataannya, masalah ini tidak hanya tentang uang. Ini juga tentang penghargaan dan pengakuan atas dedikasi dan kerja keras suami saya. Setiap jam yang dia habiskan di sekolah, setiap usaha yang dia lakukan untuk sekolah tersebut, semuanya layak dihargai dengan yang seharusnya menjadi haknya. Kami pun akan mencoba berbicara sekali lagi pada pihak sekolah atas segala hal dan menuntut keadilan.
Pada akhirnya, meskipun THR kini terasa jauh dari jangkauan, semoga ramadhan kali ini menjadi titik untuk perubahan, untuk menuntut hak yang seharusnya didapatkan, bukan hanya untuk suami saya, tetapi juga untuk semua tenaga honor yang bekerja keras di negeri ini. Dan semoga suatu hari nanti, THR bukan lagi sekadar impian, tetapi kenyataan yang dapat dinikmati oleh semua orang dengan adil dan layak. Aamiin...
Para pembaca yang budiman, doakan ya agar kami mendapat keadilan yang kami inginkan. Jika situasi semakin memburuk, saya akan menyebutkan nama sekolah dan orang-orang yang terlibat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H