Mohon tunggu...
Maman Suratman
Maman Suratman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta. Website: mamansuratmanahmad.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Kebudayaan*

12 Juni 2016   20:37 Diperbarui: 12 Juni 2016   20:43 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membincang kebudayaan memang tak ada habisnya. Dan mestinya tidak harus terhenti. Karena ia adalah proses bukan hasil, maka diskursus tentangnya harus terus berjalan. Sejalan dengan sifatnya yang memang dinamis.

Secara prinsip, kebudayaan adalah entitas terakhir yang memungkinkan lahirnya sebuah peradaban manusia. Sebab ia adalah proses, maka dinamika tentangnya sudah pasti dan seharusnya ada. Meminjam istilah Marx, dinamika-lah yang melahirkan sejarah manusia dan kemanusiaan.

Ya, itu pulalah yang jadi sebab mengapa rethinking atas kebudayaan patut untuk terus dijalankan. Mengingat maraknya persepsi atas kebudayaan yang justru berakhir pada pendangkalan makna dan tujuan dari kebudayaan itu sendiri, mendorong penulis untuk memulai dan ke depan harus lebih memikirkan lagi bagaimana menghadirkan kebudayaan sebagai ruang atau pemantik lahirnya peradaban manusia.

Sebagai batang tubuh dari tulisan  ini, hasil wawancara dari berbagai pihak akan banyak mewarnai isi dari penulisan ini. Berbagai wawancara yang telah dilakukan, tentu tidak  lepas dengan tema rethinking of culture. Di samping itu, penulis juga akan menggali kebudayaan secara lebih dalam tentang apa makna, subtansi, peran, dan tujuannya bagi kehidupan, serta mengapa dan bagaimana kebudayaan harus terimplementasi dalam kehidupan manusia secara umum. Lebih lanjut, berbagai literatur yang menjadikan kebudayaan sebagai lokus utama perbincangannya juga akan turut mewarnai batang tubuh tulisan ini.

Apa Itu Kebudayaan?

Secara etimologi, kebudayaan adalah buddhayah (bahasa Sanskerta) yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dalam bahasa Inggris, kebudaaan disebut culture (berasal dari kata Latin colere), yang berarti “mengolah” atau “mengerjakan”. Culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

Menurut Hilmar Farid dalam Pidato Kebudayaan yang disampaikannya di Dewan Kesenian Jakarta tertanggal 10 November 2014, kebudayaan ia artikan sebagai keseluruhan cara hidup manusia, baik pemikiran maupun praktiknya, yang tidak dapat sekaligus tidak boleh direduksi menjadi sederet ciri yang seolah esensial. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis. Kebudayaan lahir dari perjalanan sejarah yang dinamis dalam ruang sosial dan kultural yang konkret.

Jadi, kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini senada dengan pandangan Herskovits yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Chairil Anwar dkk juga pernah mendefinisikan kebudayaan sebagai cara suatu bangsa mengatasi masalah yang lahir pada zamannya. Melalui Surat Kepercayaan Gelanggang tertanggal 22 Oktober 1950, pernyataan sikap hidup berbudaya Angkatan 45 ini berusaha mengajak seluruh komponen masyarakat untuk berpikir, bertindak, dan menilai secara realistis. Bahwa di abad kita hari ini, abad 21, tantangan yang dihadapi generasi kita adalah tantangan abad 21. Bukan tantangan abad-abad sebelumnya; bukan tantangan abad Majapahit atau Sriwijaya; bukan tantangan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker; bukan tantangan Bung Karno, Hatta, dan Syahrir; ataupun tantangan Chairil Anwar dkk sendiri; bahkan bukan lagi tantangan Amien Rais, Akbar Tandjung, ataupun Megawati yang meskipun masih ada hingga hari ini.

Definisi yang lain yang mungkin dapat memberi gambaran pada kita terhadap apa itu kebudayaan adalah naskah pernyataan sikap sekaligus sebagai sanggahan para intelektual terhadap gerakan revolusioner yang direstui penguasa di zaman Soekarno. Pernyataan sikap tersebut terkenal dengan nama Manifes Kebudayaan (Manikebu), yang berbunyi:

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang merupakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami.

Bagi kami, kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha mencipta dengan sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Manifesto Kebudayaan yang ditandatangani oleh sejumlah intelektual seperti H.B Jassin dan Wiratmo Soekito, serta para seniman muda seperti Goenawan Mohamad dan Arief Budiman di zaman itu, berusaha mengajak semua unsur masyarakat bangsa Indonesia agar belajar bersikap “sepakat untuk tidak sepakat”—semacam konsep Agree in Disagreement-nya Mukti Ali. Mereka berusaha mengajak semua pihak untuk memperjuangkan hak-hak berpendabat semua orang tanpa kecuali, sebagaimana yang juga pernah diajarkan oleh pemikir Perancis bernama Voltaire: “Mungkin saya tidak setuju dengan pendapat kalian, tetapi saya akan berjuang sampai mati untuk membela hak-hak kalian untuk menyatakan pendapat.”

Terakhir, Denny JA juga pernah menegaskan sebagaimana penegasan kami dalam ruang editorial sebelumnya, bahwa kebudayaan bukanlah sebatas kesenian. Bahwa kebudayaan itu mencakup semua sektor kehidupan bangsa dalam arah dan geraknya. Itulah mengapa Denny JA menghadirkan puisi esainya yang berjudul Atas Nama Cinta, yang tak lain adalah manifesto atau gerakan kebudayaan yang ia anut, dalam hal gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi. Seperti John Lennon, ia berusaha mengungkap perasaan publik yang selama ini tak terwakili, tanpa ada kecenderungan sikap untuk menggurui.

Sederat makna atau pendefinisian kebudayaan di atas, kiranya dapat memberi kita gambaran tentang apa sebenarnya kebudayaan itu. Kita dapat memperoleh pengertian mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia.  Dan itulah alasan mengapa kebudayaan harus kita usung sebagai tema penulisan dalam laporan utama ini. Dan bagaimana kebudayaan harus kita bangun sebagai nafas kehidupan rill umat manusia. Selanjutnya, dari pemaknaan di atas pula, dapat kita simpulkan bahwa kebudayaan hari ini terang telah tereduksi. Entah dengan tujuan apa dan alasan yang bagaimana, kebudayaan benar-benar seolah mati di tengah kemelut modernitas peradaban umat manusia.

Adapun perwujudan dari kebudayaan itu sendiri adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Sebagai sarana hasil karya, rasa, dan cipta dalam pandangan Selo Soemardjan. Sesuatu yang dimaksud itulah yang kini kita kenal sebagai peradaban, seperti pola-pola perilaku, bahasan, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Progresifitas Kebudayaan

Kebudayan sebagai proses ternyata punya sisi progresif yang harus terus dikedepankan. Sisi progresif ini penting guna menghadirkan kebudayaan sebagai pilar utama pembangunan. Inilah yang nanti akan menjadi nafas dari keseluruhan prosesnya. Bahwa sisi progresif dari kebudayaan tak boleh dilepaskan dari proses pengimplementasian kebijakan-kebijakan publik.

Menurut Ignas Kleden, bangkitnya perhatian luas dan mendalam kepada kebudayaan terjadi berkat pengaruh pertemuan tiga aliran besar dalam ilmu-ilmu sosial (Kompas, Desember 2015). Tiga aliran besar tersebut, di antaranya pertama, menguatnya sosiologi kebudayaan di Amerika Serikat yang sebagian besar berpusat di Universitas Yale. Pemikiran dan metode kajian budaya di Amerika ini disambut oleh orang-orang seperti James Scott yang meneliti secara khusus kelompok tertindas, seperti para petani di desa-desa yang melakukan perlawanan terhadap kelas-kelas dominan dengan mengembangkan apa yang dinamakannya hidden transcript, suatu wacana tersembunyi bagi kelompok-kelompok luar dan hanya bisa dipahami kalangan petani yang senasib.

Kedua, munculnya cultural studies di Inggris yang digerakkan pertama kali oleh Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies. Cultural studies yang diterjemahkan sebagai kajian budaya ini dimulai tahun 1960-an oleh Stuart Hall dan rekan-rekannya. Mereka memberi fokus baru dalam studi kebudayaan, berupa hubungan kebudayaan dengan kelas sosial, ras, dan jender. Tujuannya sendiri adalah memberi perhatian lebih kepada kelompok-kelompok yang dianggap minoritas kualitatif menghadapi kelas dominan. Pendekatan dalam kajian budaya ini yang kemudian melahirkan teori-teori post-kolonial dan post-modernisme.

Ketiga, berkembangnya post-strukturalisme di Perancis yang kemudian menyebar ke berbagai akademia di negara-negara lain. Penggagas awalnya adalah Michael Foucault yang menggagas pandangan alternatif tentang kekuasaan sebagai entitas yang tidak bersifat terpusat, melainkan tersebar dalam berbagai bentuk dan berasal dari berbagai sumber. Gelombang ketiga inilah yang kemudian menjadi sosiologi budaya di AS yang mendapat bentuknya tahun 1980-an, meski dasar-dasarnya sudah ada dalam karya-karya Geertz.

Apa yang patut dicatat di sini adalah bahwa kebudayaan punya atau diberi peran jauh lebih luas dari fungsinya dalam menciptakan integrasi sosial-budaya. Berbagai  potensi energi yang tertutup dalam pengertian integrasi sosial-budaya, disingkapkan melalui penelitian tentang perubahan sosial-budaya. Salah satu contohnya bisa ditemukan dalam buku yang diedit John Foran berjudul Theorizing Revolution (1997). Buku tersebut menekankan peranan kebudayaan dalam mendukung perlawanan dan oposisi kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi menjadi minoritas kualitatif dengan hak-hak dan kesempatan hidup serba terbatas.

Demikianlah, menurut Sosiolog yang kini tinggal di Jakarta ini, memandang kebudayaan sebagai political culture of resistance and opposition. Hal ini memungkinkan lahirnya solidaritas dan koalisi yang luas di antara mereka yang dalam posisi lemah. Kebudayaan keluar dari wataknya yang politis sebagaimana terdapat dalam etnologi dan antropologi budaya. Kebudayaan menjadi sarana politis dalam perjuangan untuk perubahan sosial guna menembus kemapanan yang banyak menyembunyikan praktek-praktek ketidakadilan.

Dan yang terpenting untuk diketahui dari kebudayaan ini adalah bahwa kebudayaan bukanlah nilai yang bersifat final, melainkan banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Kebudayaan juga tak pernah monopolitik dalam wataknya. Serta relasi kebudayaan dengan politik dan ekonomi patut diuji kembali karena penuh dengan asimetri yang mengaburkan realitas.

Dengan demikian, ke depan kita dapat berharap banyak bahwa setelah kebudayaan kita maknai dari sisinya yang lain dengan wataknya yang progresif berupa resistensi kreatif yang menggerakkan perubahan, maka ke depan kejayaan Nusantara menuju kemajuan benar-benar akan tercapai. Di sana kebudayaan menjadi kerangka atau acuan berpikir, yakni sebagai politik kebudayaan.

*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Nusantara, Edisi Januari - Februari 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun