Ketiga, berkembangnya post-strukturalisme di Perancis yang kemudian menyebar ke berbagai akademia di negara-negara lain. Penggagas awalnya adalah Michael Foucault yang menggagas pandangan alternatif tentang kekuasaan sebagai entitas yang tidak bersifat terpusat, melainkan tersebar dalam berbagai bentuk dan berasal dari berbagai sumber. Gelombang ketiga inilah yang kemudian menjadi sosiologi budaya di AS yang mendapat bentuknya tahun 1980-an, meski dasar-dasarnya sudah ada dalam karya-karya Geertz.
Apa yang patut dicatat di sini adalah bahwa kebudayaan punya atau diberi peran jauh lebih luas dari fungsinya dalam menciptakan integrasi sosial-budaya. Berbagai  potensi energi yang tertutup dalam pengertian integrasi sosial-budaya, disingkapkan melalui penelitian tentang perubahan sosial-budaya. Salah satu contohnya bisa ditemukan dalam buku yang diedit John Foran berjudul Theorizing Revolution (1997). Buku tersebut menekankan peranan kebudayaan dalam mendukung perlawanan dan oposisi kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi menjadi minoritas kualitatif dengan hak-hak dan kesempatan hidup serba terbatas.
Demikianlah, menurut Sosiolog yang kini tinggal di Jakarta ini, memandang kebudayaan sebagai political culture of resistance and opposition. Hal ini memungkinkan lahirnya solidaritas dan koalisi yang luas di antara mereka yang dalam posisi lemah. Kebudayaan keluar dari wataknya yang politis sebagaimana terdapat dalam etnologi dan antropologi budaya. Kebudayaan menjadi sarana politis dalam perjuangan untuk perubahan sosial guna menembus kemapanan yang banyak menyembunyikan praktek-praktek ketidakadilan.
Dan yang terpenting untuk diketahui dari kebudayaan ini adalah bahwa kebudayaan bukanlah nilai yang bersifat final, melainkan banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Kebudayaan juga tak pernah monopolitik dalam wataknya. Serta relasi kebudayaan dengan politik dan ekonomi patut diuji kembali karena penuh dengan asimetri yang mengaburkan realitas.
Dengan demikian, ke depan kita dapat berharap banyak bahwa setelah kebudayaan kita maknai dari sisinya yang lain dengan wataknya yang progresif berupa resistensi kreatif yang menggerakkan perubahan, maka ke depan kejayaan Nusantara menuju kemajuan benar-benar akan tercapai. Di sana kebudayaan menjadi kerangka atau acuan berpikir, yakni sebagai politik kebudayaan.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Nusantara, Edisi Januari - Februari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H