Mohon tunggu...
Maman Suratman
Maman Suratman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Filsafat UIN Yogyakarta. Website: mamansuratmanahmad.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Kebudayaan*

12 Juni 2016   20:37 Diperbarui: 12 Juni 2016   20:43 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://fresh-lookout.blogspot.co.id/

Bagi kami, kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha mencipta dengan sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Manifesto Kebudayaan yang ditandatangani oleh sejumlah intelektual seperti H.B Jassin dan Wiratmo Soekito, serta para seniman muda seperti Goenawan Mohamad dan Arief Budiman di zaman itu, berusaha mengajak semua unsur masyarakat bangsa Indonesia agar belajar bersikap “sepakat untuk tidak sepakat”—semacam konsep Agree in Disagreement-nya Mukti Ali. Mereka berusaha mengajak semua pihak untuk memperjuangkan hak-hak berpendabat semua orang tanpa kecuali, sebagaimana yang juga pernah diajarkan oleh pemikir Perancis bernama Voltaire: “Mungkin saya tidak setuju dengan pendapat kalian, tetapi saya akan berjuang sampai mati untuk membela hak-hak kalian untuk menyatakan pendapat.”

Terakhir, Denny JA juga pernah menegaskan sebagaimana penegasan kami dalam ruang editorial sebelumnya, bahwa kebudayaan bukanlah sebatas kesenian. Bahwa kebudayaan itu mencakup semua sektor kehidupan bangsa dalam arah dan geraknya. Itulah mengapa Denny JA menghadirkan puisi esainya yang berjudul Atas Nama Cinta, yang tak lain adalah manifesto atau gerakan kebudayaan yang ia anut, dalam hal gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi. Seperti John Lennon, ia berusaha mengungkap perasaan publik yang selama ini tak terwakili, tanpa ada kecenderungan sikap untuk menggurui.

Sederat makna atau pendefinisian kebudayaan di atas, kiranya dapat memberi kita gambaran tentang apa sebenarnya kebudayaan itu. Kita dapat memperoleh pengertian mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia.  Dan itulah alasan mengapa kebudayaan harus kita usung sebagai tema penulisan dalam laporan utama ini. Dan bagaimana kebudayaan harus kita bangun sebagai nafas kehidupan rill umat manusia. Selanjutnya, dari pemaknaan di atas pula, dapat kita simpulkan bahwa kebudayaan hari ini terang telah tereduksi. Entah dengan tujuan apa dan alasan yang bagaimana, kebudayaan benar-benar seolah mati di tengah kemelut modernitas peradaban umat manusia.

Adapun perwujudan dari kebudayaan itu sendiri adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Sebagai sarana hasil karya, rasa, dan cipta dalam pandangan Selo Soemardjan. Sesuatu yang dimaksud itulah yang kini kita kenal sebagai peradaban, seperti pola-pola perilaku, bahasan, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Progresifitas Kebudayaan

Kebudayan sebagai proses ternyata punya sisi progresif yang harus terus dikedepankan. Sisi progresif ini penting guna menghadirkan kebudayaan sebagai pilar utama pembangunan. Inilah yang nanti akan menjadi nafas dari keseluruhan prosesnya. Bahwa sisi progresif dari kebudayaan tak boleh dilepaskan dari proses pengimplementasian kebijakan-kebijakan publik.

Menurut Ignas Kleden, bangkitnya perhatian luas dan mendalam kepada kebudayaan terjadi berkat pengaruh pertemuan tiga aliran besar dalam ilmu-ilmu sosial (Kompas, Desember 2015). Tiga aliran besar tersebut, di antaranya pertama, menguatnya sosiologi kebudayaan di Amerika Serikat yang sebagian besar berpusat di Universitas Yale. Pemikiran dan metode kajian budaya di Amerika ini disambut oleh orang-orang seperti James Scott yang meneliti secara khusus kelompok tertindas, seperti para petani di desa-desa yang melakukan perlawanan terhadap kelas-kelas dominan dengan mengembangkan apa yang dinamakannya hidden transcript, suatu wacana tersembunyi bagi kelompok-kelompok luar dan hanya bisa dipahami kalangan petani yang senasib.

Kedua, munculnya cultural studies di Inggris yang digerakkan pertama kali oleh Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies. Cultural studies yang diterjemahkan sebagai kajian budaya ini dimulai tahun 1960-an oleh Stuart Hall dan rekan-rekannya. Mereka memberi fokus baru dalam studi kebudayaan, berupa hubungan kebudayaan dengan kelas sosial, ras, dan jender. Tujuannya sendiri adalah memberi perhatian lebih kepada kelompok-kelompok yang dianggap minoritas kualitatif menghadapi kelas dominan. Pendekatan dalam kajian budaya ini yang kemudian melahirkan teori-teori post-kolonial dan post-modernisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun