Sesosok mayat membujur kaku bersimbah darah di pinggir selokan persawahan di pinggiran desa. Seorang yang selama ini terkenal kritis terhadap pemerintahan desa terbunuh mengenaskan dengan beberapa tusukan di perut dan dadanya. Darah yang mulai mengering bercecer di sekitar tubuhnya. Police line membatasi area kejadian itu.
Dedas-desus di masyarakat terdengar seorang wartawan tewas dibegal. Ia melawan dan akhirnya terjadi perkelahian tidak seimbang dua lawan satu. Si begal berhasil menusuk wartawan itu dan membawa kabur motornya. Â
Di desa itu memang masyarakat sudah mengenal nama seorang wartawan yang suka mengkritik apa pun yang dianggapnya tidak benar. Pemerintah desa, ketua RW, Ketua RT, tokoh agama menjadi sasaran kritiknya. Tidak aneh namanya melambung tinggi di desa itu. Hampir semua orang mengenalnya. Bagi orang yang terkena sikap kritisnya ia adalah tak lebih dari kecoa bau busuk. Tapi bagi masyarakat yang merasa dibelanya ia adalah seorang pahlawan.Â
Jamil K. Sugih (31) namanya. Selama ini terkenal di desanya sebagai seorang aktifis media. Ia rajin menulis apa saja yang terkait dengan desanya. Kemudian dia upload di blognya. Di lehernya selalu tergantung kamera pocket sebagai teman setianya dalam meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi di desanya. Ia tidak segan-segan mengkritik kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah desanya. Apalagi kalau menyangkut persoalan penggunaan uang desa. Ia dengan pedas mengkritiknya tanpa ampun.
"Sebagai warga negara, saya terpanggil untuk mengawal jalannya pemerintahan." Â Kata Jamil suatu ketika saat bertemu denganku.
Jamil adalah temanku waktu di Sekolah Dasar. Ia memang anak yang pintar dan kritis. Ia biasa mengkritik siapa pun tanpa merasa sungkan.
Dulu waktu SD, ia mengritik keras kebijakan sekolah karena mewajibkan murid-murid  membayar  sejumlah uang untuk jalan-jalan. Padahal waktu itu masyarakat dalam keadaan susah karena hasil panen yang kurang bagus.
"Gila apa guru-guru itu! Mereka tidak melihat masyarakat yang lagi susah begini  karena hasil panennya puso. Masih saja ngadain acara jalan-jalan. Guru-guru itu tidak punya sense of crisis!"  Sungut Jamil ketika itu.
Begitulah Jamil. Meskipun badannya kecil pendek, tapi kalau soal keberanian ngalahin si Agung, teman se-kelas, Â yang badannya tinggi besar.
Sikap kritis Jamil tidak berhenti karena  lulus sekolah. Meski ia hanya sekolah sampai SMP tapi ia tetap berani menyuarakan sesuatu yang dia anggap bertentangan dengan hati nuraninya. Apalagi kalau itu merugikan rakyat kecil.
Suatu ketika ia mengkritik keras Pemerintah Desa karena beras raskin yang dibagikan ke masyarakat dengan kualitas sangat buruk dan hanya orang-orang tertentu yang mendapatnya. Â
"Pemerintah ini serius gak sih mau memberi makan orang miskin. Masa masyarakatnya dikasih beras menir!" Teriaknya berapi-api. Ia pun menulis kemarahannya itu di blognya dan dishare kemana-mana: ke FB, group Whatsapp dan Intagram. Usahanya tidak sia-sia. Banyak masyarakat yang tahu tentang tulisannya itu. Tidak sedikit warga yang mendukung tapi juga ada yang tidak sependapat. Beberapa orang mengingatkannya agar hati-hati mengkritik pemerintah. Bisa-bisa ada yang sakit hati dan jadi urusan yang ribet.
Kritik yang paling menggemparkan sejagat Desa Kebun Sawah itu ketika dia menulis sebuah tulisan yang mengkrtitik kehidupan pribadi kepala desa. Ia membuat tulisan yang panjang dan mendalam tentang kehidupan birahi kepala desanya itu.
Sebelum tulisan Jamil beredar di masyarakat, sudah terdengar desas desus bahwa Pak Kades bermain api dengan seorang janda muda yang rumahnya dekat sawah. Itu di RT 3 RW 2. Sekitar 200 meter dari perempatan masjid. Pak Kades biasa menyelinap di rumah itu. Sementara mobilnya di parkir di Masjid.
Awalnya warga tidak percaya Pak Kades bermain serong dengan janda itu. Masyarakat tahu, Ibu lurah itu orangnya cantik dan baik hati. Jadi mana mungkin Pak Kades pindah ke lain hati. Kalau dalamnya laut bisa diukur tetapi dalamnya hati siapa yang tahu? Pribahasa itu sepertinya cocok dengan keadan Kades itu. Â Â
Jamil dalam tulisannya mengatakan bahwa korupsi seringkali berawal dari sikap pemimpinnya yang suka bermain perempuan. Kalau pemimpin sudah bermain perempuan mana mungkin ia punya waktu untuk mengurus desanya. Waktunya akan habis mengurus perempuannya itu. Ia akan tak segan-segan memeras rakyatnya untuk mendapatkan uang untuk membiayai gacoannya itu.
Tentu saja tulisan Jamil ini membuat gempar masyarakat. Warga akhirnya tahu kelakuan serong Kadesnya itu. Awalnya satu orang membaca. Kemudian ia share ke group dan menyebar begitu cepat di media sosial dan dari mulut ke mulut berita melesat bagai api yang membakar ilalang di musim kemarau. Â Â Â Â
Dalam waktu sekejap desa Kebun Sawah gempar. Berita Kepala desanya serong viral di media sosial. Tentu saja ini membuat malu sekaligus marah kepala desa itu. Ia langsung menebak ini pasti ulah Jamil yang selama ini memang seringkali mengungkit kehidupan dirinya. Ia pun berpikir bagaimana caranya menyingkirkan kecoa yang satu ini. Ia harus berpikir jernih agar ikannya dapat, airnya tetap bening.
Akhirnya ia menemukan ide. Ia mengundang Jamil ke kantornya.
"Saudara Jamil, saya kagum dengan bakat dan talenta Anda. Saya ingin sekali punya orang yang mampu menuliskan kegiatan dan prestasi-prestasi yang sudah diraih desa kita. Saya sangat senang jika Saudara menjadi bagian dari proyek ini." Demikian Pak Lurah itu menawarkan gagasannya. Â
Jamil diam memendam seribu bahasa. Lalu ia membuka mulutnya. Kata-kata pun meluncur. "Ma'af Pak Kades, bukannya saya tidak mau menerima tawaran ini. Saya ini sukanya mengkritik bukannya memuji. Apa jadinya kalau saya diminta menulis tentang pemerintah desa ini? yang ada isinya hanya kritikan." Kata Jamil terus terang. Â
"Sekali-kali mengkritik gak apa-apa. Asal proporsional." Kata Pak Kades berusaha tenang. Ia berusaha menyembunyikan bisikan hatinya. Awas saja kalau masih berani mengkritik.Saya tendang!.Â
"Kalau Pak Kades percaya, dengan senang hati saya menerima tawaran ini."
Dasar aktifis karbitan! Baru ditawarin jabatan ecek-ecek saja sudah mau! Kata Pak Kades dalam hatinya.
"Baik kalau begitu. Saya sangat senang sekali. Kapan bisa datang ke kantor kelurahan?" Kata Pak Kades dengan mimiek yang cerah. Â Â Â Â Â Â
"Kapan saja saya siap Pak." Kata Jamil dengan semangat.
"Kalau begitu mulai besok datang saja ke kantor kelurahan."
"Baik kalau begitu. Terima kasih."
***
Jamil pun resmi bekerja di kantor kelurahan sebagai orang yang bertanggungjawab dengan semua hal yang berkaitan dengan pemberitaan kelurahan.
Dalam perjalanannya, ia tidak hanya menulis kegiatan-kegiatan yang berkaitan program pemerintah desa akan tetapi ia kerap menulis kritikan atas layanan desa yang menurutnya tidak benar.
Dalam satu tulisannya ia menyampaikan bahwa pelayanan di kantor desanya perlu ada reformasi. Pengurusan pembuatan KTP, kartu keluarga, perizinan dianggapnya ladang basah bagi terciptanya praktik korupsi. Menurutnya hal itu harus diubah. Â Â Â
Tentu tulisannya itu membuat kepala desa dan aparatnya kebakaran jenggot. Pak Kades marah besar dengan Jamil atas tulisannya. Ia tidak mampu menahan emosinya dan memanggil Jamil pada saat itu juga. Dengan keputusan sepihak, Pak Kades memberhentikan Jamil dari jabatan pengelola berita di kantor kelurahan tersebut.
Jamil pun akhirnya kembali ke profesinya semula menjadi citizen journalist yang kerap mengkritik apa pun yang dianggapnya tidak benar tanpa ada beban dan sungkan. Tulisan terakhirnya tentang praktik korupsi di Pemerintahan Desa Kebun Sawah mendapat perhatian yang sangat besar dari masyarakat. Hal ini semakin membuat murka kades desa itu.
Setelah peristiwa itu terdengar berita sesosok mayat membujur kaku bersimbah darah di pinggir selokan persawahan di pinggiran desa. Seorang yang selama ini terkenal kritis terhadap pemerintahan terbunuh dengan beberapa tusukan di perut dan dadanya.
Masyarakat dan Polisi pun mengendus ada keterkaitan meninggalnya Jamil dengan Pak Kades. Meskpun beredar kabar Jamil dibegal. Tetapi Polisi dan masyarakat tidak percaya begitu saja. Tuduhan pun mengarah ke hidung kepala desa. Polisi pun bergerak cepat melakukan penyidikan kepada Pak Kades dan aparatnya. Namun polisi tidak mudah mencari bukti keterlibatan Pak Kades dalam kasus pembunuhan si Citizen Journalis itu.
Jakarta, 28 November 2018 Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H