Malam itu Anti memasuki vila yang asri dengan penerangan yang temaram. Ia digandeng seorang tinggi besar berjambang dan berjenggot yang baru tumbuh setelah dicukur. Bejubah dan bertutup kepala khas pakaian Timur Tengah.
Dengan tanpa sungkan tangan Anti menggelayut di tangan laki-laki yang pantas sebagai ayahnya itu. Sementara angin malam mengejar dan menggigit siapa pun yang berani menggodanya. Anti dengan lelaki Arabnya itu masuk ke kamar dengan ditemani mimpi dan harapan ditemukannya surga dunia.
Anti umurnya masih sangat muda, 15 tahun. Ia baru kelas dua Tsanawiyah setingkat SMP. Ayah dan Ibunya berjualan souvenir kecil-kecilan di objek wisata di Bogor yang banyak tersebar. Anti putus sekolah.Â
Ia diminta orang tuanya untuk membantu mencari nafkah. Tidak! Ia tidak berjualan souvenir. Ia telah menjadi souvenir sendiri yang menarik bagi wisatawan Arab yang siap dipesan.
Ketika "musim Arab" tiba, ia bersiap menerima pesanan. Agen mempertemukannya dengan laki-laki Arab yang siap menikahinya. Ia bagaikan bunga indah yang sedang mekar. Sebenarnya belum siap untuk dipetik, meskipun harumnya sudah mulai semerbak. Tapi ia akan segera dipetik bagi siapa pun yang berani membayar maharnya.
Daerah puncak Bogor Jawa Barat tidak hanya terkenal dengan talasnya tapi juga udaranya yang dingin tentu saja bunga-bunganya yang cantik nan harum. Tidak heran wilayah ini menjadi kunjungan wisata domestik dan luar negeri yang ramai dikala musim liburan tiba. Terutama turis dari gurun pasir.
"Anti....Anti... Ke sini Nak. Ayah ingin bicara."
Ayah Anti memanggil anak si mata wayangnya itu.
"Anti...Ayah sudah tua. Ayah Ibu ingin melihat Anti Bahagia. Tidak seperti hidup Ayah yang susah."
Ayah dan Ibunya duduk berdampingan. Sementara Anti duduk di depannya, tertunduk.