Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Kaki Gunung Kuda Aku Mengucap Qabiltu

19 Oktober 2018   09:45 Diperbarui: 19 Oktober 2018   10:12 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: thebridedept.com

Ahad, 29 Oktober 2000

Di Masjid Al-lshlah, di kaki Gunung Kuda aku duduk dengan melipat kaki jadi alas. Kaki menjadi beku terasa kaku seperti batu. Menunggu waktu memulai ijab qabulku. Aku teringat perjalananku tadi pagi.

Nan jauh di sebuah Kampung. Pagi masih ranum. Pandangan belum sepenuhnya bisa menangkap benda-benda dengan jelas. Cahaya listrik yang masih nyala cukup membantuku mengenali orang-orang yang ada di depanku. Aku bersiap menata diri, memantaskan diri. Menata fisikku, menata gemuruhya hati, memantapkan hati. Keluarga dan tetangga dekat juga sibuk menyiapkan diri untuk mengantarkanku ke kaki Gunung Kuda.  

Mitsubishi Lancer GTI milik sahabatku terparkir gagah di depan rumahku, siap mengantarku. Kukenakan setelan jas biru dongker membungkus kemeja putihku. Di leherku melilit dasi biru muda. Di kepalaku bertengger peci hitam dengan tinggi 7cm. Kusemprotkan armani di tubuhku. Segar terasa  kuhirup aromanya.          

Setelah semua siap, kami pun berangkat, konvoi. Lancer yang kutumpangi meluncur perlahan di depan dengan percaya diri, mengimbangi laju kendaraan di belakangnya. Sementara kendaraan lainnya mengekor. Kami menuju kaki Gunung Kuda yang berada dekat perbatasan Cirebon-Majalengka.  Perjalanan kami akan ditempuh sekitar 3 jam. Kami menyusur hutan jati dari arah Subang. Yang terlihat adalah berjejer pohon jati bagai pagar ayu yang menyambut tamu dan hamparan sawah berbaring menanti belaian mentari.

Setelah sampai, kami disambut ramah oleh tuan rumah. Ada panitia khusus yang melakukan penyambutan. Kami ditempatkan terlebih dahulu di sebuah rumah sebelum kami menuju masjid. Kami bersiap-siap: sarapan, membersihkan badan dan keperluan lainnya.

Di rumah itulah aku diberitahu oleh panitia bahwa akad nikahnya akan menggunakan bahasa arab. Denggg....kepalaku seperti kejedot tembok. Aku kaget bukan dibuat-buat. Karena selama ini saya menyiapkan akad dengan bahasa Indonesia. Dalam waktu singkat, saya harus menyiapkan diri akad dengan menggunakan bahasa arab. Padahal kalimat "saya terima nikahnya dan kawinnya...........binti .............dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas sepuluh gram dibayar tunai" sudah saya hapalkan jauh-jauh hari.

Untuk akad bahasa arab?  Ooh...aku mesti tanyakan dulu kepada ustadz yang mendampingiku. Aku menghafalnya agar dihadapan wali dan keluarga calon istriku aku bisa mengucapkan dengan lancar.

Setelah terasa siap semua. Rombongan berangkat menuju masjid. Aku berjalan di depan diapit oleh seorang yang sepertinya disiapkan oleh tuan rumah untuk menemani langkahku. Dengan adanya orang yang menemani, langkahku semakin mantap menjejak inchi demi inchi tanah menuju masjid.

Di depan pandanganku, terihat gunung kuda berdiri gagah. Ia bukan kuda betina  yang selalu diperah untuk diambil air susunya. Tapi ia kuda jantan yang gagah. Tapi suara ringkiknya menyiratkan kepedihan, bagai tangis pasien yang ditinggal saudaranya. Ada luka di tubuhnya. Di paha sebelah kiri terlihat luka sesetan yang darahnya masih menetes. Di perutnya terlihat luka menganga. Aku bisa membayangkan, ketika ia mengamuk, tiga, empat sampai lima orang bisa terpental.      

Di dadaku bergemuruh seperti ada gelombang besar di lautan lepas. Bagaimana tidak, aku akan menghadapi sesuatu yang belum pernah aku alami sebelumnya. Aku melangkah perlahan bagai ksatria maju ke medan perang dan orang-orang di belakangku mengikuti langkahku seperti para prajuritku.

Di gerbang masjid terlihat Ibu Bapak calon mertuaku menyambut. Dengan senyum merekah kucucup tangan mereka dengan rasa takdim. Aku disambut dan dipeluknya dengan hangat oleh mereka bak pangeran yang datang dari kerajaan agung. Dikalunginya leherku dengan untaian melati yang wanginya memenuhi ronga hidungku. Tak terasa mataku sembab. Penyambutan yang membuatku merasa sudah diterima menjadi bagian dari keluarga calon istriku.

Langkahku semakin mantap memasuki masjid. Rombongan pun perlahan memasuki masjid dengan teratur: laki-laki duduk di sebelah kanan sementara perempuan duduk di sebelah kiri. Aturan seperti ini baru aku temukan di sini. Sebelumnya, aku lihat laki-laki perempuan bercampur begitu saja.    

Kulihat keluarga dari pihak perempuan juga sudah masuk ke dalam masjid, bergabung dengan keluargaku. Kulihat beberapa laki-laki tua dengan baju gamis dan jenggot yang panjang dan lebat terlihat juga di masjid. Aku turut bersyukur akad nikahku disaksikan orang-orang yang kelihatannya sholeh dan tentunya mereka akan turut mengamini do'a-do'a yang akan dipanjatkan untuk kebaikan pernikahanku.

Aku duduk di tengah masjid dengan karpet hijau terasa empuk dan terkesan mewah. Kusapu pandanganku ke orang-orang yang hadir di masjid. Mereka terlihat bahagia. Tapi hatiku kecut teringat kedua orang tuaku. Mereka pasti bahagia kalau mereka masih ada.

Aku tidak banyak mengenal sosok ayah. Ketika aku berumur sekitar 6 tahun, ayah sudah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Tidak banyak kenangan indah bersamanya. Yang masih kuingat adalah nasihatnya "belajarlah yang rajin untuk bekal hidupmu kelak." Selain itu, bayanganku tentang sosok ayah adalah seorang laki-laki pekerja keras dan sangat suka menanam tanaman. Di rumah, di dekat kamar mandi,  sering aku lihat bibit pohon kelapa atau yang sering disebut kitri berjejer siap untuk dipindahkan ke kebun. Di tempat lain, aku lihat berbagai bibit seperti kacang panjang, kacang hijau, pare, cabai, pare belut dan jagung tersimpan rapi di berbagai botol yang bebentuk antik dan  di dalamnya ada abunya.

"Untuk apa abu-abu itu, Ayah?" Tanyaku melepas keingin tahuanku.

"Oh itu biar biji-biji itu kuat, tahan lama tidak busuk."  

Jawabnya sambil mengambil salah satu botol yang berisi kacang tanah dan menumpahkan di telapaknya.    

Hasil tanamannya masih aku dapat menikmati. Aku sangat senang ketika diajak Ayah memanen kacang tanah, jagung dan palawija lainnya. Biasanya ayah akan segera mencuci dan memasaknya. Kami pun segera menyerbunya meskipun masih dalam keadaan panas.  

Ketika musim mangga tiba, kami  memanen bisa sampai berkarung-karung. Sangat beragam mangga yang Ayah tanam: harum manis, cengkir, bapang, gedong, keweni dan lainnya. Almarhumah Ibu biasanya akan memintaku untuk membagikan sebagian kepada para tetangga.

"ini bagikan ke tetangga tiga-tiga." Begitu Ibu memberikan perintahnya. Aku membawanya di cepon, wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Biasanya buat tempat nasi.

Itu kenangan-kenangan yang menggelayut di pikiranku.

Ibuku meninggal ketika aku masih kuliah semester 7. Waktu itu aku sangat berharap Ibu dapat menghadiri wisudaku. Tetapi Allah menghendaki lain. Ketika aku mendapat tugas penelitian, Ibuku pergi menemui-Nya.

Ketika aku pulang liburan lebaran, kudapati keluarga dan tetangga sedang mengadakan tahlil malam ketiga. Hatiku hancur. Ada sesal menonjok di dada, tak sempat mendapinginya di saat Ibuku menghadapi sakaratul maut. Telegram yang dikirim saudaraku yang mengabarkan Ibu meninggal baru aku dapat selepas lebaran ketika aku masuk kampus. Informasi yang basi!.    

Mengingat kedua orang tuaku, aku semakin tenggelam dalam kesedihan. Aku tak kuat lagi untuk mengenang kedua orang tuaku.

Kuberanikan diri mengangkat kepalaku memandang calon mertuaku. Ia duduk dengan gagah mengenakan pakaian seperti orang Makassar dengan baju hitam dengan gaya kancing seperti baju koko. Di kepalanya bertengger peci kuning menambah kegagahannya.

Aku dengar selentingan, calon mertuaku ini termasuk orang tua yang keras, kalau tidak disebut galak. Maka tidak aneh banyak laki-laki yang ngeper untuk mendekati anak gadisnya. Untungnya cerita ini tidak sampai ketelingaku sebelum aku meminang anak gadisnya. Sehingga ketika aku menemuinya untuk pertama kalinya, aku tidak gentar sedikit pun.

***

Masjid terlihat penuh. Naib atau petugas pencatat nikah juga sudah terlihat. Di kebanyakan daerah, biasanya si naib ini yang menikahkan. Tapi untuk pernikahanku, ayah gadis yang akan kunikahi ini yang langsung mengucapkan ijab. Tentu hatiku bergetar keras. Keringat dingin mengucur deras di tubuhku yang memanas. Tanganku terasa dingin. Tanganku dipegang oleh tangan calon mertuaku. Konsentrasiku pudar, melayang.

Pembawa acara mempersilahkan acara dimulai. Calon mertuaku mulai membaca taawudz, basmalah  dan istigfar dengan suara yang berat terdengar berwibawa. Aku mencoba berkonsentrasi. Cara dudukku yang bertumpu pada kaki membuatku terasa sakit dan kesemutan.

Setelah beberapa saat. Calon mertuaku berucap: angkahtuka wazawajtuka ibnati...... dan seterusnya. Tanganku ditariknya seperti dikedut, aku pun berucap "Qabiltu.....". Sayang jawabanku dinilai oleh para saksi kurang cepat. Akad pun diulang kembali.

Saat itu, aku teringat bisikan calon istriku. "kalau akad diulang sampai tiga kali bisa diguyur." Katanya dengan serius suatu ketika.  Aku pun mencoba konsentrasi, aku tidak mau diguyur dan bahkan gagal karena tidak bisa mengucapkan akad karena grogi.

Calon mertuaku mengulang kembali ijabnya. Untuk kali ini aku bisa dengan cepat dan lancar mengucapkan qabul. Para saksi pun berucap bersamaan "sah, sah, sah." Para hadirin pun kompak berucap "Alhamdulilah, barakallah." Dada pun terasa lega. Kucepat mengganti posisi dudukku dengan bersila yang sedari tadi terasa pegal.

Akad selesai, aku menandatangani buku salinan akta nikah. Yang aneh waktu itu, aku tidak diminta mengucapkan sighat ta'lik. Aku tidak memperhatikannya. Mungkin semua lupa. Kami saling bersalaman. Perempuan yang saat ini telah menjadi istriku mencium tanganku. Ingin kumemeluk dan mengecup kening dan pipinya. Tapi itu aku tidak lakukan, masih terasa malu. Kubiarkan dia duduk kembali dibarengi tatapan mataku yang tak sabar melihat matahari terbenam.

"Acara selanjutnya adalah sungkeman. Acara ini dipimpin oleh ustadz Syatori. Kepadanya dipersilahkan." Pembawa acara mempersilakan.  Ustadz Syatori berdiri dan memulai acara sungkeman.  

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh,

Dalam kesempatan ini izinkan saya menyitir sebuah ayat:

"wa-qada rabbuka alla ta'budu illa iyyahu wa bi'l-walidayn ihsana ....."

Aku perintahkan kepadamu wahai manusia untuk senantiasa tidak menyembah tuhan kecuali Allah dan hendaklah engkau senantiasa berbuat baik kepada orang tuamu. Manakala keduanya atau salah satu dari keduanya telah tua renta lanjut dimakan usia. Jangan sekali-kali engkau sebagai seorang anak berkata kasar. Apalagi menghardik atau membentaknya. Tapi hendaklah engkau bertutur lemah lembut kepada ayah dan ibumu.  Pelihara keduanya dan santuni keduanya dengan penuh rasa kasih sayang. Dan panjatkan do'alah ya Allah pelihara Ayah dan Ibuku sebagaimana keduanya memelihara kami sejak kecil.

Hadirin yang berbahagia.

Dengan selesainya pembacaan ijab qobul oleh mempelai pria di hadapan bapak penghulu. Disaksikan oleh kedua orang tua masing-masing. Dihadiri oleh sanak famili kerabat dekat dan jauh. Maka mulai detik ini, mempelai telah resmi menjadi sepasang suami istri sesuai dengan tuntunan ajaran Rasulullah saw.

Di dalam kesempatan yang berbahagia ini, rupanya mempelai berdua berkenan ingin mengajukan tiga permohonan kepada Ayah dan Ibunya.

Yang pertama, mempelai ingin memohon ma'af atas segala kesalahan dan dosa selama mereka bergaul dengan Ayah dan Ibunya dalam kurun waktu yang cukup lama.

Yang kedua, mempelai ingin menghaturkan rasa terima kasih atas segala pengorbanan yang diberikan Ayah Ibunya. Sejak mereka kecil sampai dewasa seperti sekarang ini.

Yang terakhir, mempelai memohon iringan do'a yang tulus dari Ibu dan Ayahnya agar hidupnya di dunia ini senantiasa mendapat bimbingan dan inayah dari Allah Subhanahu Wataala. Amin..amain ya rabbal alamain.

Ayah..Ibu.. yang ananda cintai...pagi hari ini ananda datang bersimpuh di hadapan Ayah dan Ibu untuk mohon ma'af atas segala kesalahan. Mohon ampun atas segala dosa yang telah ananda perbuat. Baik yang disengaja maupun tidak. Apalah artinya anada hidup di dunia ini tanpa ridho dan ampunan dari orang tua. "Ridhollah fi ridhol walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain." Keridhoan allah tergantung keridhoan orang tua dan kemurkaan Allah pun tergantung pada kemurkaan orang tua.   Andaikan Ibu Ayah berkenan mema'afkan kami, insyaallah Allah pun ridho. Dan barangkali surga jannatunnaim balasannya bagi ananda kelak di yaumul hisab.  Sebaliknya apabila Ayah Ibu tidak sudi mema'afkan kesalahan dosa ananda berdua pasti Allah pun akan murka, nauzubillah barangkali neraka jahanan sebagai balasannya bagi kami berdua.

Karena itu sekali lagi, Ayah Ibu ma'afkan dosa ananda berdua. Ananda mengucapkan banyak terima kasih atas pengorbanan Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dari kecil sampai dewasa seperti sekarang ini. Ananda tak dapat membayangkan bagaimana pengorbanan orang tua dalam mengasuh. Begitu beratnya pengorbanan orang tua, berkali-kali Allah mengingatkan, salah satunya Allah mewasiatkan " wa washshoinal insana bi walidaihi  hamalat-hu ummuhu wahnan 'ala wahnin wa fisholuhu fi 'amaini anisykurli wa li walidaika ilayyal mashir".

Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibumu yang telah melahirkan dan menyusuimu sampai dua tahun lamanya. ....maka berterima kasihlah kepada kedua orang tuamu. Dan Ibu, ananda tidak bisa membayangkan bagaimana Ibu mempertaruhkan nyawa tatkala melahirkan ananda ke dunia yang fana ini. Air mata disertai keringat bercucuran.  

Aku bersimpuh di hadapan Bapak dan Ibu mertuaku dengan berurai airmata. Mereka membelai dan memelukku. Begitu pun istriku. Ia bersimpuh mencium dan kakak kandungku dan kakak iparku sebagai pengganti orang tuaku. Air mataku mengalir deras melintasi gunung hidung, hutan kumisku dan danau mulutku.

Acara sungkeman itu menguras air mataku dan juga orang-orang yang mengikuti acara akad nikah kami dengan khidmat.

Limpahan do'a dan  wejangan dari orang tua, saudara dan sahabat-sahabat telah memberi bekal yang tak terhingga kepada kami untuk mengarungi bahtera pernikahan yang akan segera kami arungi.

Kini 18 tahun sudah do'a-do'a itu bersama kami. Ikut bersama kapal mengarungi samudera. Badai, karang dan perompak sudah dilalui dan ditaklukannya. Kami hanya berdo'a, semoga kapal itu sampai ke pulau impian.    

Jakarta, 26 September 2018          

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun