Aku pun tenggelam dalam kesibukanku memasak rembulan. Awalnya aku akan memasak rembulan dengan memecaknya. Tapi aku pikir kalau untuk makan malam sepertinya tidak cocok.
Sempat berpikir untuk membakarnya tapi takut asapnya kemana-mana. Akhirnya aku putuskan untuk membuat sop rembulan yang segar yang ditaburi daun kemangi dan dibubuhi belimbing wuluh. Sepertinya cocok untuk makan malam. Aku yakin masakan seperti itu tidak akan ditemukan di Inggris atau di Jakarta sekali pun. Apalagi rembulan ini kualitasnya sangat bagus, purnama. Â Â
Aku mulai mencuci rembulan dengan bersih. Sepotong rembulan ternyata cukup besar. Terlalu banyak untuk kami berdua. Â Aku potong lagi rembulan itu menjadi dua. Sebagian aku simpan di kulkas, di freezer. Sebagian aku potong-potong dadu ukuran sedang. Kusiapkan panci yang berisi air dididihkan. Semua bumbu aku masukkan. Potongan rembulan yang sudah kusiapkan kumasukkan ke panci perlahan.
Hmm... harumnya menyebar. Sop rembulan sudah hampir matang.
Sementara bintang-bintang yang sudah aku cuci bersih aku taburi bumbu rempah-rempah dan kuaduk-aduk rata. Kusiapkan penggorengan ditungku satu laginya. Kutuang minyak secukupnya sampai panas. Dengan perlahan aku masukkan bintang-bintang itu, kugoreng. Cahayanya terang menerangi apartemenku. Baunya harum sekali, baru kali ini aku mencium bau seperti ini. Â Â
"aku sudah di bawah." Shofi mengirim pesan di WA.
"Langsung saja naik ke lantai 9, Fi." Sebelumnya aku sudah memberi tahu nomor kamarnya. Â
Wah hatiku dag-dig-dug serrr.
Masakan sudah selesai. Aku siapkan di meja.
Pikiranku melayang. Ketika Shofi datang aku akan memeluk dan menciuminya dan kubisikan ditelinganya aku sangat merindukannya. Aku mengajaknya masuk tanpa melepas pelukanku.Â
Bel berbunyi... ding... dong...
Aku langsung bangkit dan membuka pintu. Di depanku berdiri sosok perempuan berambut hitam panjang. Alisnya tebal seperti rumput swiss yang ditanam di  depan rumah orang-orang kaya. Lengkung alisnya seperti bulan awal bulan.  Hidungnya seperti hidung gadis pakistan. Matanya  ah....aku tak sanggup lagi membayangkannya.
Â
"Haiiii... masuk Fi!"
"Apa kabar? Rampingan Fi" kataku menghilangkan grogi setelah melepaskan jabat tangan kami.
Meskipun aku sudah berpacaran setahun lebih, tapi karena lama tidak bertemu terasa kaku sikapku.
"ah biasa aja. Gak ada perubahan kok."
"ayo-ayo, silakan duduk."
"Wah apartemenmu bagus juga." Shofi menuju jendela dan melihat pemandangan keluar.
"Ya.. lumayan lah."
Setelah basa-basi secukupnya. "Fi aku masak sesuatu lho, khusus buatmu."
"Woow... masak apa?"
"Coba kamu lihat."
"apa ini?"
"Cobain aja."
Aku tuangkan ke mangkoknya.
"emm... empuk dagingnya. Sop patin?"
Aku geleng kepala.
"Gabus!"
"No, no"
"apa ya?"
"Aku nyerah deh." Shofi berdiri lagi menuju jendala yang sengaja dibuka. Rambutnya yang panjang dibiarkannya tertiup angin. Wanginya menyeruak menembus hidungku.
"Fi, ayo kita santap aja mumpung masih anget." ajakku.
"Okey. Aku jadi penasaran sop apa sih. Lagian aku dah laper nih." Sambil menuju meja.
Dia duduk di depanku. Mendekatkan mangkok yang sudah aku isi tadi lalu menyendoknya.
"emm... seger"