Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inilah Lima Alasan Urgensinya Hari Pasar Rakyat Nasional

17 Januari 2017   11:05 Diperbarui: 27 Januari 2017   09:35 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar rakyat, sebelumnya dikenal dengan pasar tradisional, terus mengalami penurunan: jumlah pasar, pengunjung dan bahkan omzet. 

Hasil survei AC Nielsen tahun 2013 menunjukan jumlah pasar rakyat di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada 2007 pasar rakyat berjumlah 13.550, sementara pada 2009 menyusut menjadi 13.450, dan pada 2011 berjumlah 9.950. Sementara itu, perbandingan pertumbuhan pasar rakyat terhadap pasar modern cukup drastis, yaitu pasar rakyat hanya kurang dari 8,1 persen, sedangkan pasar modern 31,4 persen. Demikian diberitakan Kompas.com. (2/10/2014).

Hasil penelitian Bagas Haryotejo tentang “Dampak Ekspansi Hypermarket terhadap Pasar Tradisional di Daerah” (2014) menunjukan  ada penurunan daya beli konsumen dan jumlah pembeli. “Sekitar 89% dari total sampel menyatakan daya beli konsumen dalam tiga tahun terakhir stagnan dan menurun. Sementara jumlah pembeli rata-rata harian cenderung menurun; hanya sekitar 15% dari responden yang menyatakan jumlah pembeli meningkat.”

Hasil yang sedikit berbeda ditunjukkan di Yogyakarta. Rudi Firdaus,  Kepala Bidang Pengembangan, Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta, seperti diberitakan antaranews.com, mengatakan bahwa jumlah pengunjung pasar tradisional di Kota Yogyakarta pada 2016 mengalami kenaikan 4,46 persen dibanding tahun sebelumnya, meskipun tidak semua pasar tradisional mengalami kenaikan jumlah pengunjung.

Jumlah pengunjung pasar tradisional tercatat sebanyak 147.326 orang per hari pada 2016 atau meningkat dibanding tahun sebelumnya 141.041 orang per hari. Pada 2015, juga terjadi kenaikan jumlah pengunjung namun tidak terlalu signifikan yaitu 0,83 persen dibanding 2014. Menurut Rudi, data tersebut didasarkan pada hasil survei yang dilakukan di 31 pasar tradisional selama tiga bulan pada awal tahun.

Kenaikan jumlah pengunjung ternyata tidak dibarengi dengan kenaikan jumlah omzet.  "Dari hasil survei dapat diketahui bahwa pengunjung tidak melakukan transaksi dalam jumlah besar" kata Kepala Bidang Pengembangan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta itu seperti diberitakan mediaindonesia.com.

Berdasarkan hasil survei tiga bulan pertama 2016, diketahui omzet pedagang di 31 pasar tradisional di Kota Yogyakarta rata-rata mengalami penurunan hingga 7,91 persen dibanding 2015. Omzet pada 2016 rata-rata Rp26,8 miliar sedangkan pada tahun lalu bisa mencapai Rp29,14 miliar, padahal terjadi penurunan jumlah pedagang dari sekitar 15.600 orang pada 2015 menjadi 14.700 pedagang tahun ini.

Di beberapa pasar besar seperti Beringharjo, produk konveksi yang menjadi primadona juga mengalami penurunan porsi penjualan dari 33,69 persen pada 2015 menjadi 22,18 persen. Begitu pula produk sayur di Pasar Giwangan dari 33,35 persen pada 2015 menjadi 29,6 persen tahun ini.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nur Indah Purwanti, dkk “Mengkaji Perbandingan Pola Perilaku Konsumen di Pasar Modern (Retail) dan Di Pasar Tradisionalditemukan faktor yang membuat kunsumen enggan untuk belanja di pasar rakyat yaitu  kondisi pasar yang tidak nyaman (becek, kotor, panas, dan berdesak-desakan), kualitas produk yang belum terjamin (misal: bahan makanan mengandung boraks dan formalin) dan infrastruktur yang kurang rapi.

Pasar Rakyat Terus Alami Penurunan,  Apa Solusinya?
Dikeluarkannya  UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan memberikan angin segar bagi perbaikan pasar rakyat untuk meningkatkan daya saing dengan pasar modern atau pasar swalayan. 

Istilah pasar tradisional tidak akan ditemukan di dalam UU tersebut. Sebagai gantinya, dimuncukan istilah “pasar rakyat”.  Saya melihat, istilah tersebut lebih “mengempower” ketimbang istilah pasar tradisional. Istilah yang terakhir disebutkan telah banyak mengalami stigma: kolot, kotor, berbau, manual, ketinggalan zaman dan sebutan negatif lainnya.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun