[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Seminar Komnas Perempuan"][/caption]
Perda pelacuran yang dimaksud adalah Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan pelacuran yang disahkan pada 23 November 2005 dan Perda Kabupaten Bantul No. 5 Tahun 2007 tentang larangan pelacuran yang disahkan pada 7 Mei 2007.
Perda-perda tersebut sempat menghebohkan jagat raya Indonesia. Karena isi Perda-Perda tersebut dinilai oleh banyak pihak telah mendiskriminasikan perempuan. Perda kota Tangerang misalnya, telah memakan korban salah tangkap seorang karyawan sebuah restoran yang sedang hamil dua bulan. Ia ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda Kota Tangerang. Meski telah menjelaskan bahwa ia bukan PSK. Perempuan tersebut tetap ditahan dan dihukum.
Perda serupa juga disahkan di Kabupaten Bantul. Dengan adanya perda-perda diskriminatif tersebut, bisa jadi korban serupa yang dialami seorang perempuan hamil tersebut dialami juga oleh perempuan-perempuan lain yang kebetulan ada keperluan di malam hari.
Untuk menghindari korban yang lebih banyak lagi, Judicial Review (JR) atau menguji perda tersebut dengan undang-undang yang ada di atasnya pun dilakukan oleh korban dan sejumlah pihak ke Mahkamah Agung (MA). Selain itu, Perda tersebut dinilai bertentangan dengan asas-asas hukum pidana yang termaktub dalam KUHP dan CEDAW yang telah diratifikasi dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Upaya JR terhadap perda-perda tersebut ternyata tidak membuahkan hasil. Perda-perda tersebut tetap ada dan masih berlaku. Padahal menurut Komnas Perempuan, Majelis Hakim tidak memasukkan norma HAM dalam pertimbangan putusannya, tetapi lebih mengedepankan persoalan teknis dan prosedural ketimbang substansial., sehingga belum dapat dikatakan menghasilkan putusan yang memberikan rasa adil dan pembelaan didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar sesuai sebagaimana tertuang pada pasal 53 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Ada sekitar 103 pertimbangan lain sehingga Komnas Perempuan dan sejumlah kalangan merasa perlu untuk melakukan eksaminasi (pengujian) terhadap putusan peradilan, dalam hal ini adalah putusan mahkamang Agung No. 16 P/HUM/2006 dan No. 26 P/HUM/2007 tentang permohonan Judicial Review atas Perda Kota Tangerang dan Kabupaten Bantul tentang Pelarangan Pelacuran.
Hasil dari eksaminasi tersebut disampaikan pada seminar Hasil Putusan Eksaminasi Publik “Mendorong Akuntabel dalam Mekanisme Judicial Review di Mahkamah Agung” pada 25 Pebruari 2014 di Hotel Grand Cempaka Jakarta Pusat. Acara yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan tersebut menghadirkan narasumber dari Majelis Eksaminator yaitu diantaranya adalah Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, SH dan Dr. Maruarar Siahaan, SH.
Seminar yang dihadiri oleh jaringan Komnas Perempuan dari berbagai daerah ini menyimpulkan hasil eksaminasinya (dengan sejumlah pertimbangan) yaitu seharusnya Mahkamah Agung mengabulkan permohonan a qoa (perkara tersebut) untuk seluruhnya, baik dalam pemohon No. 16 P/HUM/2006 maupun pemohon No. 26 P/HUM/2007. Selanjutnya, majelis eksaminator juga menyampaikan sejumlah rekomendasi diantaranya adalah “Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewajiban konstitusional pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang perlu memasukkan norma HAM, Konstitusi dan Kesetaraan dan Keadilan Gender, disamping aspek hukum tata negara, hukum pidana, dan hukum acara pidana dalam pertimbangan putusannya dan tidak lebih mengedepankan persoalan teknis serta prosedural ketimbang substansial sebagai bagian kerangka mengembangkan kebijakan uji tuntas agar keputusannya tepat dan memenuhi rasa keadilan.”
KH. Husein Muhammad, Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional, menyatakan dalam kata pengantar buku Hasil Eksaminasi Publik bahwa kesimpulan eksaminasi publik itu penting untuk mendorong berbagai perubahan substantif dalam memperbaiki mekanisme hak-hak konstitusinal warga Negara melalui Judicial Review di Mahkamah Agung. Ia juga menilai sejumlah rekomendasi itu perlu untuk memperbaiki sekaligus mencegah putusan dan perumusan peraturan daerah serupa berulang di masa mendatang.
Kita semua berharap, dengan adanya hasil dan sejumlah rekomendasi dari eksaminasi ini, MA, khususnya, dalam memutuskan perkara lebih mempertimbangkan aspek substanstif ketimbang aspek formal prosedural.
Tulisan ini juga dimuat di website Rahima: www.rahima.or.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H