Mohon tunggu...
Man Suparman
Man Suparman Mohon Tunggu... w -

Man Suparman . Email : mansuparman1959@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Ingin Kaya Jangan Jadi Wartawan, Jadilah Pengusaha

9 Oktober 2017   09:44 Diperbarui: 17 November 2017   07:26 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan Penakut

Kalau penakut jangan jadi wartawan, itu ditunjukan oleh Mahbub Djunaedi, bagaimana keberaniannya menulis sehingga beliau sering disebut sang pendekar pena. Tulisan-tulisannya ringan, asyik dibaca, berani menegrkritik keras pemerintahan, kadang-kadang dengan gaya bahasa yang halus dan santun.

Suatu hari,saya menulis berita di tempat saya bekerja tentang acara seremonial pelantikan kepala PGA Negeri 6 Tahun. Kepala Departemen Agama setempat dalam pidatonya mengatakan"......tingkatkan pembangunan garis miring Golkar," Waktu itu, saya pun mengkonfirmasi kepala Depag, mempertanyakan ucapannya apa yang dimaksud dengan tingkatkan pembangunan garis miring Golkar.

Dua hari kemudian, berita itu, dimuat tanggal 26 Desember 1980 (karena waktu itu mengirim berita ke redaksi di Jakarta melalui pos, sampainya dua hari, karena belum ada facimili, apalagi email seperti sekarang). Pada tanggal 26 Desember 1980, Mahbub, mengapresiasi berita tersebut, pada tulisan kaki halaman pertama dengan judul "Orang Depag Cianjur mesti Ditrtibkan,"

Tulisan itu, sungguh menghebohkan banyak pihak baik di pemerintahan,maupun masyarakat. Pagi itu, koran terjual habis di agen dan pengecer. Dampak dari tulisan sang Pendekar Pena, H. Mahbub Djunaidi, semakin bertambah kental kecurigaan dan julukan yang dialamatkan kepada saya sebagai wartawan "hijau' (Islam), wartawan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), karena karena pada masa itu, Islam identik dengan PPP sebagai partai yang berazaskan Islam. Padahal mereka sendiri yang yang berada di partai lain,  sama-sama pemeluk Islam, bahkan, saya sendiri sering disebut wartawan "hijau"  ekstrim.

Tidak hanya itu, hari-hari berikutnya koran tempat saya bekerja dilarang masuk desa. Dengan begitu, semakin banyak orang yang penasaran sehingga membeli dan berlanganan koran tersebut. Banyak PNS yang membeli koran kemudian dilipat di saku belakang atau diselipkan di bagian bokong, untuk dibaca di rumah, karena kalau dibaca di kantor takut dicurigai atau disebut orang PPP, karena membaca koran tersebut, identik dengan PPP, identic dengan Islam.

Itulah secuil kenangan dengan Almarhum Mahbub Djunaidi,  yang lahir tanggal 27 Juli 1993 di Jakarta, kini telah tiada. Beliau meninggal di dunia di Bandung pada tanggal 1 Oktober 1995. Semasa hidupnya, pernah jadi Ketua Umum PP.PMII tiga periode. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI Pusat, (1979 -- 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PB NU (1984-1989), Wakil sekjen DPP PPP, Anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Ketua Majlis Pendidikan Soekarno dan anggota mustasyar PB NU (1989-1994).

Beliau adalah penulis yang sangat terkenal pada zamannya, banyak menulis di harian Kompas, klolom Asal-usul, di Harian Umum Pelita dan Pelita Edisi Minggu pada kolom Sekapur Sirih, Koran Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Tempo, Koran Gala Bandung, dan lainnya. Banyak sudah tulisannya yang dibukukan.

0000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun