Mohon tunggu...
Man Suparman
Man Suparman Mohon Tunggu... w -

Man Suparman . Email : mansuparman1959@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Ingin Kaya Jangan Jadi Wartawan, Jadilah Pengusaha

9 Oktober 2017   09:44 Diperbarui: 17 November 2017   07:26 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

De, kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso.

__________________

Ungkapan itu, masih teringiang-ngiang yang dikemukakan oleh sang pendekar pena, kolomnis ternama, H. Mahbud Djuanedi (Alm), pada suatu kesempatan di Kantor Perwakilan Harian Umum Pelita Jawa Barat, Gedung Milamar, Jalan Asia Afrika (depan Gedung Merdeka), Bandung.

Pada hari-hari tertentu, bisa bertemu dengan beliau di Kantor Perwakilan Harian Umum Pelita (1980 -- 1982), karena beliau yang bertempat tinggal di Jalan Turangga 1, Bandung itu,  merupakan penasihat Perwakilan  Harian Umum Pelita Jawa Barat, sedangkan Kepala Perwakilannya, Agus Suflihat Manaf atau Agus SM. Ada juga Nu'man Abdul Hakim yang dikemudian hari jai Wakil Gubernur Jabar.

Beliau yang penampilannya sangat sederhana terkadang kepergok mengenakan pakaian olahraga (baju dan celana singlet), jika bertemu selalu memberi nasihat-nasihat tentang kewartawanan, tentang tulis menulis, ya termasuk nasihatnya, "De kalau ingin kaya jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso,"

Memang, jadi wartawan jangan berharap kaya, memang jadi wartawan bukan untuk mengerjar kekayaan. Pada masa-masa itu, orang jadi wartawan, karena tuntutan nurani, sehingga dikenal dan lahir sebutan wartawan idealis. Artinya wartawan yang benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya tanpa pamrih, wartawan hakekatnya pejuang. Apalagi pada masa-masa perjuangan sebelum Indonesia merdeka, wartawan berjuang dengan kekuatan penanya untuk kemerdekaan negeri ini.

Wajarlah jika pada masa-masa itu, jadi wartawan jangan berharap kaya sebagaimana dikemukakan mantan Ketua PWI, dan mantan Ketua NU periode tahun itu. Pada masa-masa itu, wartawan yang memiliki kendaraan beroda dua, dann empat sangat jarang. Mahbub pun memiliki kendaraan sedan VW berwarna biru telur asin, mungkin bukan dari hasil jadi wartawan, karena ayahnya Pak Djunaedi, merupakan tuan tanah, orang kaya Betawi.

Walaupun pada masa-masa itu, sebut saja pada masa orde baru, kebebasan wartawan dikekang, tetapi harkat derajat wartawan sangat tinggi, dihormati oleh pejabat maupun masyarakat. Pejabat, masyarakat sangat segan terhadap yang namanya waratwan. Wartawan pun terutama di daerah jumlahnya sangat sedikit dapat dihitung dengan jari di satu kabupaten paling banyak rata-rata sembilan atau 11 orang.

Kondisi seperti itu, tentunya jauh berbeda dengan kondisi sekarang, terutama sejak era reformasi. Jumlah wartawan saja terutama di daerah sejak era reformasi dibukannya krand kebebasan jumlah wartawan di salah satu kabupaten, wow, bisa mencapai 300 orang, bahkan lebih.

Pers masa sekarang pun adalah pers industri, walaupun tidak dapat menjamin wartawannya hidup kaya, tetapi paling tidak hidupnya mapan terutama yang bekerja pada penerbitan-penerbitan media tertentu.

Tetapi boleh jadi, lebih banyak wartawan yang hidupnya tidak kaya, gajihnya rendah seperti yang pernah dilontarkan oleh Prabowo Subianto, usai upacara peringatan hari kemerdekaan ke-72 - RI di Kampus Universitas Bung Karno, Jalan Kimia 20, Pegangsaan, Jakarta Pusat, Kamis (17/8/2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun