Â
OROWODOL adalah nama salah satu daerah kabupaten di Negeri Banceng Pakewuh. Memiliki luas wilayah sekitar 360. 217 hektar. Sebagian besar wilayah merupakan lahan pesawahan yang cukup luas di wilayah utara. Di wilayah selatan yang berbatasan dengan lautan merupakan wilayah pegunungan.
Penduduknya sekitar 3 juta jiwa sebagian besar hidup dari bertani. Areal pesawahan yang begitu luas menghantarkan Kabupaten Orowodol pada masa lalu sebagai daerah lumbung padi atau beras. Tidak hanya itu, daerah ini memiliki padi varietas lokal yang cukup terkenal, karena rasanya yang lezat, harum baunya. Hmmm....
Daerah Kabupaten Orowodol didirikan sekitar 360 tahun  lalu semasa bercokolnya penjajah, tentu saja sudah mengalami beberapa pergantian dalem atau bupati yang mumpuni. Namun pada masa lalu sempat ada cerita miring, salah seorang dalemnya yang loncat dari jendela karena ketahuan berkencan dengan wanita lain. Bahkan ada juga kejadian salah seorang bupatinya menumpuk beras di pendopo, sehingga harga beras menjadi mahal dan langka.
Itu diantaranya kisah dalem dan bupati masa lalu di daerah Kabupaten Orowodol. Sekarang ini, daerah Kabupaten Orowodol telah mengukir sejarah baru, pernah memiliki bupati hasil pemilihan bupati selama dua periode, kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang menang dalam pemilihan bupati yang membolehkan pemilihan bupati sistim dinasti berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintahan Republik Banceng Pakewuh.
Putra Mahkota sebelum mangkat jadi bupati melalui proses pemilihan bupati, jauh sebelumnya sudah disiapkan oleh ayahanda sang bupati. Bahkan sang putra mahkota jauh-jauh sebelumnya  ikut mengatur pemerintahan seperti dalam penempatan pejabat yang dikenal dengan istilah mutasi. Dia ikut bermain menentukan pejabat yang tentunya untuk mencari keuntungan memungut uang dari para pejabat yang ingin menduduki jabatan tertentu.
Jual beli jabatan di Kabupaten Orowodol, dugaan korupsi kolusi nepotisme terus mengemuka hingga kemana-mana. Istri anak alias sang mahkota yang nantinya jadi pelanjut jabatan ayahnya, dan saudara-saudaranya yang merecoki ikut mengatur pemerintahan jalan terus.
Pelbagai persoalan terus mengemuka dan berkembang, pemberitaan melalui media, gerakkan demo terus terjadi, namun media dan gerakkan-gerakkan yang disuarakan para aktivis  seperti macan ompong atau berteriak di ruang hampa. Sebab, penegak hukum tak mampu mengendus untuk melakukan penegakan hukum, konon sudah disumpal dengan pelbagai materi baik untuk kependingan lembaga maupun oknum-oknumnya.
Dengan begitu, akhirnya tidak sedikit kalangan masyarakat yang pesimis, apatis dan statis melakukan pelbagai kritik, dan pasrah, karena penegak hukum tak bisa diharapkan lagi, harus kepada siapa mengadu. Akhirnya, tidak sedikit pula  yang berkesimpulan, bahwa yang selama ini bupati dan keluarganya diduga melakukan korupsi kolusi dan nepotisme hanyalah sebuah fitnah. Kok fitnah ? (Bersambung).
000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H