Mereka hanya sibuk memasang spanduk dengan foto kandidat dan partai-partai pengusung serta tak lupa menyertakan slogan dan visi-misi yang selama ini dinilai oleh kaum pemuda hanya tak lebih dari sekadar penghias jalan.
Lebih dari itu di zaman ini kita masih disuguhkan dengan politik primordial.
Padahal, ada yang terlupa bahwa zaman ini bukanlah "zaman primitif" atau zaman politik primordial yang mana mempersuasi pemilih dalam arena politik atau urusan publik semata berdasarkan ras, suku bangsa, agama, mayoritas, minoritas.Â
Contoh sederhana ialah adanya kecenderungan memilih pasangan calon tanpa melihat kapasitas dan integritas. Memilih paslon hanya karena kedekatan kerabat, tetangga bahkan satu desa atau wilayah sampai pada pengaruh partai yang ideologinya masih kental di wilayah tersebut.
Ikatan primordial ini memang sebuah perasaan yang lahir dari yang dianggap ada dalam kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga.
Namun bagi kaum yang terdidik, hal yang tradisional ini tak berpengaruh. Mereka adalah kaum yang berpikir terbuka dan rasional.
Dengan melihat hasil quick count (walaupun hanya representatif sementara) pilkada pada beberapa daerah di Indonesia, terlihat bahwa kita sudah berada pada zaman millennial. Zaman yang modern dan berpikiran terbuka, kita tidak akan menutup mata dan telinga menerima realitas serta pilihan hati nurani.
Kita juga memilih bukan karena partai, kita memilih karena kualitas ketokohan atau figur calon tertentu yang dianggap sebagai figur "kekinian". Kita ini adalah pemuda "jaman now" yang terdidik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H