Dua hari yang lalu saya diundang gurunya Nino, anak saya kelas 2 SD untuk datang kesekolah. Saya tanya Nino apa dia bertengkar atau menjahili temannya makannya saya disuruh datang kesekolah, Nino bilang " Nggak kok ma, Nino nggak pernah mukul, mama tanya aja sama miss (sebutan untuk gurunya)". Saya menerka-nerka kira-kira kenapa ya saya disuruh datang, dan tampaknya karena nilai UTS Nino yang jelek. Beberapa hari sebelumnya Nino mencegat saya didepan pagar rumah, saya tidak diperbolehkan lewat.
" Ma, mama boleh masuk kerumah tapi janji nggak marah ya ". Begitu kata Nino.Â
" Ok, emang kenapa ?". Tanya sayaÂ
" Nilai ujian Nino jelek semua !".Â
" Semuanya ?". Tanya saya lagi dan dia mengangguk.
" Mama marah ?". Nino bertanya sambil menyelidik wajah saya.
" Nggak kok, santai aja, tapi Nino nggak nyontek kan ?". Nino menggeleng.
" Nilai Bahasa Indonesia 50 ma !". Ninopun menyebutkan nilai-nilai ujiannya yang kesemuanya dibawah 60, dia mengoceh terus dan seolah bangga karena dia tidak mencontek sementara dalam hati saya mulai dag dig dug meskipun saya tetap menampilkan wajah senang didepan Nino. Semua nilainya dibawah 60, ohhh my God !
Selesai berbicara dengan miss-nya Nino, Nino menghampiri saya diparkiran sekolahnya.
" Ma, mama dipanggil miss gara-gara Nino bodoh ya ". Saya tertegun dan merasa sedih dengan ocehannya.
" Nggak kok, emang siapa yang bilang Nino bodoh ? Nino pinter kok ". Saya berusaha menenangkan.
" Beneran ma ?".
" Iyaaa ".Â
" Lama-lama Nino nggak suka sekolah ma ".Â
" Loh, kenapa ?". Tanya saya sambil memakai jaket motor.
" Miss galak, trus bukunya banyak, pelajarannya susah, pr-nya banyak tiap hari, capeklah ma...".
" Iya ya, Nino sabar ya, nanti kalo nggak ngerti tanya sama miss ". Dalam hati saya merasa kasihan. Memang, buku pelajarannya Nino banyak, setiap hari isi tas Nino beratnya sekitar 5 kilo, satu mata pelajaran ada 2 buku tulis, belum lagi workbook-nya atau buku yang berisi soal-soal, beberapa mata pelajaran bukunya bilingual, halaman sebelahnya adalah bahasa Inggris, padahal kosa kata saja Nino hampir belum mengerti. Pulang sekolah tiba dirumah sekitar jam satu siang atau setengah dua, kalau sudah begitu biasanya Nino setelah makan siang langsung tidur siang dan bangun sekitar jam empat sore. Sore hari biasanya Nino minta main diluar bersama teman-temannya, tentu saya perbolehkan, karena anak-anak juga butuh hiburan, butuh bermain, bukankah dunia anak adalah dunia bermain ?
Secara akademik Nino memang tidak terlalu menonjol, namun bukan berarti Nino anak yang bodoh. Saya sudah bilang pada wali kelasnya bahwa saya paham betul kekurangan dan kelemahan Nino, dan jika Nino memang harus tinggal kelas tidak mengapa buat saya.
" Loh, bukankah semua orang tua menginginkan anaknya pintar dan naik kelas bu ?". Kata wali kelas Nino.
" Ya betul, naik kelas dan pintar hanya reward saja buat saya, yang penting Nino punya mental yang kuat, mampu bersosialisasi dan berbuat yang benar dan baik, itu cukup buat saya ".
Saya lebih kuatir jika Nino mempunyai pribadi yang pembangkang, suka menyakiti temannya, egois dan sebagainya sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang rusak.Â
Saya ngeri melihat berita ditelevisi bahwa anak-anak SD mampu menendang temannya hingga menyebabkan meninggal dunia, mengejek, memukuli dan sebagainya. Apakah itu yang terjadi sekarang didunia pendidikan kita ? Bahwa kurikulum pendidikan lebih mementingkan atau mengedepankan nilai akademik daripada nilai-nilai moral ?
Sahabat saya malah bangga bahwa dengan ketatnya jam belajar disekolah anaknya membuat anaknya tidak bisa bermain lagi, katanya bermain itu tidak penting, yang penting adalah belajar dan belajar, harus ranking satu, menjadi juara kelas, bahwa bermain membuat bodoh ! Seperti itu ??
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H