Berapa banyak persisnya kasus-kasus pengaduan seperti itu, silahkan tanya staf Pemprov DKI yang selama ini menangani pengaduan warga tersebut. Sekaligus, evaluasi juga apakah model atau mekanisme seperti ini cukup efektif -- juga efisien?
Salah satu contoh kasus, sebagaimana yang kami alami terkait pembangunan RPTRA Johar Berseri. Semula, kami menolak program tersebut. Dan saya merupakan orang pertama sekaligus paling keras menolak "rencana" itu. Bukan kepada tujuan atau konsep RPTRA-nya sendiri.Â
Melainkan, soal kebijakan atau menentukan prioritas program (kalaupun program yang saya maksud itu memang ada). Saya melihat, penataan ulang kawasan RW kami khususnya, kawasan Johar Baru dan sekitarnya umumnya, bahkan kampong-kampung padat lebih umumnya, merupakan kunci utama dalam menyelesaikan masalah yang ada. Baik masalah kesejahteraan, pendidikan, minimnya fasilitas umum, pun apa yang disebut sebagai masalah sosial.
Bagi saya, dengan mengamini pembangunan RPTRA itu, pemerintah semakin lalai dengan persoalan mendasar tersebut. Karena itu, saya menyebut program tersebut tak lebih dari permen. (Alasan penolakan saya selengkapnya, silahkan baca di sini: kompasiana.com/mamangantra)
Namun belakangan, bahkan sebelum Sosialisasi II, sikap kami itu sudah berubah. Kami, saya khususnya, memahami bahwa program itu sudah "dikunci", sementara rezim Ahok pun sudah tak memiliki waktu lagi. Pembangunan RPTRA itu memang harus dilakukan di lokasinya sekarang, karena memang tak ada tempat lain yang lebih memungkinkan. Isupun bergeser: Bisakah RPTRA itu terbagi dua, sehingga lokasi yang ada sekarang itu tetap menjadi ruang terbuka -- tanpa ada bangunan apapun di atasnya? Sementara, bangunan ditempatkan di lokasi lain yang menurut kami ketika itu lebih pas dan tak terlalu jauh dari lokasi sekarang.
Merasa mentok, kamipun mengadu ke Gubernur. Dan ketika kami diterima petugas di meja pengaduan, sebelum bertemu langsung dengan Gubernur, yang bersangkutan memberikan penjelasan yang sangat masuk akal : RPTRA itu satu kesatuan lokasi, tak mungkin terpisah. Dan kami menerima penjelasan tersebut. Masalah RPTRA kami anggap selesai.
Bahkan, ketika Walikota Jakarta Pusat melakukan peninjauan ke lokasi pun, sebelum kami menghadap Gubernur, ihwal sikap warga itu saya sampaikan secara tegas: Kami tak keberatan dengan rencana pemprov tersebut. Kalaupun sebelumnya kami keberatan, karena kami -- khususnya saya -- pemerintah seharusnya terlebih dahulu melakukan penataan ulang besar-besaran terhadap kawasan ini. Sehingga, tak hanya semua fasilitas umum bisa dipenuhi. Rumah warga pun lebih manusiawi, jauh lebih luas dari rumah yang ditempati selama ini.
Tapi, sekitar dua minggu setelah menghadap Gubernur, kami mendapat undangan untuk menghadap Irda. Saya mengira, panggilan itu terkait dengan soal adanya tagihan PBB atas nama perseorangan untuk lahan yang akan dibangun RPTRA itu, yang memang kami lampirkan dalam pengaduan kepada Gubernur tempo hari. Dengan kata lain, Pemprov DKI dibawah rezim Ahok ini -- walau Ahoknya sendiri sudah tak lagi menjabat Gubernur -- memang committed untuk mengamankan asset negara. Aset pemprov. Setidaknya, demikian pikir saya ketika itu, pemprov berniat menertibkan persoalan administrasi (dan hukum) terkait asset mereka. Dan kami akan dimintai keterangan lebih jauh terkait itu.
Tahunya, pertemuan itu lagi-lagi membahas soal pembangunan RPTRA!
Sebagai warga, saya tentu saja salut dengan "keseriusan" pemprov dalam menangani pengaduan kami itu. Selain Lurah dan Camat, juga Kepala Sudin Perumahan dan entah apa namanya unit yang membawahi soal RPTRA ini, sampai Asda dan Irda ikut "membahas"-nya. Bahkan, konon, tadinya Walikota Jakarta Pusat pun akan ikut hadir pula!
Tapi, di sisi lain, yaitu tadi: Efesienkah semua ini? Toh, bagi kami, masalahnya sudah selesai. Rela atau tidak rela, RPTRA itu harus dibangun di lingkungan kami. Silahkan... Bagi kami, tinggal bagaimana meng-optimalkan fasilitas itu demi kebaikan semua orang. Sekaligus, bagaimana meminimalkan dampak buruk akibat "serbuan" warga luar terhadap lingkungan kami.