Setelah menyebut-nyebut "hidupkan seluruh majelis-majelis yang ada di kota ini" dalam pidatonya seusai dilantik menjadi Gubernur DKI, Anies menegaskan akan melanjutkan tradisi menerima pengaduan warga yang dilakukan rezim Ahok selama ini. Bahkan, pengaduan warga pun akan sampai ke tingkat kelurahan dan kecamatan. "Anies mengatakan sistem pengaduan warga akan dibuka sampai ke tingkat kelurahan dan kecamatan. Dengan begitu, warga tidak harus jauh-jauh datang ke Balai Kota DKI setiap pagi," demikian yang dilaporkan sebuah portal berita (https://www.suara.com/news/2017/10/19/223916/terima-aduan-warga-jakarta-anies-mention-ahok).
Tentu saja, ini sangat menarik. Sebuah niat dan kebijakan yang bagus. Anies tak hanya memelihara hal baik yang dirintis dan diwariskan pendahulunya, tapi juga "menyempurnakan" dan "memperkayanya". Sampai di sini, Anies setidaknya menghalau mitos yang nyaris mentradisi selama ini: "ganti pejabat, ganti kebijakan". Mudah-mudahan sikap bijaksana ini juga berlanjut pada kebijakan dan tradisi rezim Ahok lainnya -- yang tentunya kebijakan dan tradisi yang baiknya, bukan yang "buruk"nya.
Masalahnya, terkait penyempurnaan sistem pengaduan warga, bagaimana kalau pengaduan itu terkait kinerja kelurahan atau kecamatan? Melapor kepada instansi di atasnya tentu menjadi satu-satunya pilihan.
Lebih dari itu, ini yang terpenting: Akankah sistem atau kebijakan ini efektif dalam menciptakan perubahan? Menciptakan keadaan yang lebih baik? Ahok yang demikian galak saja (saya tak memakai istilah tegas, sebagai upaya menekankan kesungguhan dia untuk melakukan perubahan itu, keadaan yang lebih baik itu) tak berhasil menciptakan perubahan yang signifikan. Terutama, di kampung saya -- Johar Baru, Jakarta Pusat. Lebih khusus lagi, perubahan yang saya maksud semata dalam hal yang "sederhana", standar, dasar, kasat mata, sekaligus salah satu ciri kemodernan: Kebersihan.
Kembali ke sistem pengaduan, selain pengaduan langsung ke Balaikota, dalam hal "tidak harus jauh-jauh", rezim Ahok juga menyediakan aplikasi Qlue sebagai sarana pengaduan sekaligus keterlibatan/kepedulian warga terkait masalah yang ada. Hanya, sejauh yang saya alami di kampung saya, penanganan atas pengaduan itu kerap kali tak memuaskan.Â
Bahkan, melihat statistik yang disajikan Qlue: Persoalan kebersihan ini, dengan sampah sebagai eksponen utamanya, menempati jumlah laporan tertinggi untuk seluruh wilayah DKI. Berapa persisnya, silahkan tanya sendiri kepada pengelola Qlue. Yang ingin saya sampaikan di sini: Angka tersebut menunjukkan sampah atau kebersihan masih jadi masalah. Dan: Sistem pengaduan tersebut tak membuahkan perubahan signifikan.
Logika saya sederhana: Manakala sistem pengaduan itu efektif, maka angka laporan pun berkurang. Walau, berkurangnya tadi bisa juga disebabkan warga sudah apatis -- dalam arti kehilangan harapan -- untuk melapor atau untuk peduli. La, melapor untuk satu titik saja, yang juga menjadi tugas rutin mereka, kita harus melapor berkali-kali? Bukan mereka tak merespon laporan kita, dalam hal ini PPSU layak dipuji -- respon mereka cepat -- hanya kualitas penyelesaian laporannya itu yang tidak memuaskan. Lebih dari itu, esoknya, kitapun harus melaporkan hal serupa untuk titik atau lokasi yang sama, yang juga menjadi tugas rutin mereka.
Dan, cilakanya, ketika kita melapor secara langsung kepada Lurah pun, laporan kita hanya "diterima" atau "ditampung". Perubahan tetap saja tak terlihat atau terasa. Ujung-ujungnya, warga yang sejatinya menunjukkan kepedulian dan keterlibatannya dalam masalah yang ada di sekitarnya malah dianggap nyinyir atau malah "aneh" -- kalaupun tak dianggap gila atau sakit jiwa.
Intinya, yaitu tadi : Bagaimana sistem atau kebijakan itu benar-benar efektif dalam melakukan perubahan. Dan saya sreg benar dengan  apa yang dicangkan Presiden Jokowi: Perubahan mental! Dalam hal ini, bagaimana merubah mental aparat Pemprov DKI agar benar-benar laras dengan perubahan yang kita inginkan bersama. Jangan cuma sok prosedural, basa-basi...
Masih terkait mekanisme pengaduan, mungkin bisa saya tambahkan soal efesiensi cara penanganannya. Bahkan, mungkin, kejelian aparat dalam menangkap esensi pengaduan tersebut. Di mana, di dalamnya terselip soal koordinasi dan komunikasi antar aparat -- baik yang bersifat vertical maupun horizontal.
Banyak pengaduan, yang sebenarnya sudah selesai ketika sampai meja para staf di teras Balaikota itu, tapi masih juga dianggap belum ditangani atau tertangani. Sehingga harus dibahas lagi di level atas, dengan melibatkan pihak-pihak terkait -- termasuk melibatkan warga yang mengadu.