Mohon tunggu...
Mamang
Mamang Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rizal Ramli, Dari Aktivis, Menko, Ke Mahkota Negarawan

30 Juli 2016   18:58 Diperbarui: 30 Juli 2016   19:23 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

JALAN Pemimpin katanya adalah jalan kesunyian, Via Dolorosa. 

Ada yang menyebutnya jalan kepedihan, karena pemimpin sejati mewakafkan hidup untuk kepentingan rakyat

John Ingleson, sejarawan dari Universitas New South Wales, Sydney, Australia, di awal 1980-an menerbitkan satu buku yang bagus, yang dikasih judul: Jalan Ke Pengasingan. Buku ini bercerita tentang para pejuang bangsa yang merupakan para pendiri negeri ini yang mengalami berbagai tekanan, dipenjarakan, dibuang/diasingkan untuk dijauhkan dari rakyat yang mereka cintai.

Satu buku lagi, Vijftien Jaar Boven-Digoel, tulisan I.F.M Chalid Salim. Buku ini berkisah mengenai kehidupan bersama para tokoh bangsa perintis kemerdekaan ketika diasingkan di kamp pengasingan Boven Digul, Papua (1928-1943). Buku yang terbit di Belanda pada 1973 ini memberikan gambaran yang menyentuh mengenai bagaimana pemimpin mempertahankan prinsip hidup, idealisme, dan konsekwensi akibat membela rakyat. 

Pepatah Latin mengatakan, non timidus pro patria mori, jangan takut mati demi tanah air. Tapi dalam konteks Indonesia yang telah merdeka saat ini berlaku ungkapan: ‘’nunc nostra res publica audaciam non habet, dewasa ini di republik ini tidak ada lagi keberanian…’’ Seluruh upaya peradaban kebajikan harus terus-menerus diupayakan dengan berani. Mengutip syair WS Rendra: keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Rizal Ramli barangkali adalah last men standing, orang terakhir yang masih berdiri secara gagah berani untuk menyuarakan kebenaran di republik ini saat ini, sehingga dia dibuang dari kabinet akibat pilihannya membela rakyat ketimbang membela kepentingan para elit yang berkomplot dengan para pengembang.

Rizal Ramli bukan jago, melainkan seorang ksatria yang menyatukan kata dengan perbuatan. Itulah karakter yang terus menempel baik ketika dia di luar kekuasaan maupun saat dia di dalam menjadi pejabat berkali-kali.

Manusia memang harus punya karakter, harus punya keberanian untuk mengubah keadaan supaya menjadi lebih baik, punya integritas pribadi yang baik. Kata Sutan Sjahrir, harus punya ketajaman berpikir untuk menganalisa mana yang buruk dan mana yang baik. 

Kalau Anda jadi pemimpin, jadi gubernur misalnya, selain harus memelihara sikap dan menjaga integritas, maka lisan Anda pun harus dijaga. Tidak boleh sinis apalagi terhadap rakyat.

Apakah sinis itu? Asal katanya adalah cynicus. Dalam bahasa Yunani kyon, kynos berarti anjing. Di Yunani sekitar abad 4 SM ada penganut filsafat jalanan, cynisme, sehingga ada mazhab cynisme. Mereka disebut kynos lantaran cara hidup seperti anjing. Makan, berjalan, tidur, layaknya anjing.

Lalu apakah karakter itu? 

Karakter adalah penanda jiwa. Ali Sadikin disebut Sukarno punya karakter koppig, keras kepala. Menuruti hati dan pikiran dalam membela kebenaran yang diyakininya untuk kepentingan masyarakat.

Rizal Ramli itu koppig sehingga dia direshuffle karena membela kebenaran. Dia mengkritik reklamasi, menghentikan operasional Pulau G karena pengembang yang tidak lain adalah para cukong melakukan pelanggaran berat, karena merusak lingkungan, mengancam keamanan kabel bawah laut/instalasi publik, merampas hak hidup nelayan, dan sedemikian rakus memakan apa saja untuk mendapat untung. Bahkan demi untung itu, DPRD Jakarta mereka sogok.

Selasa malam 26 Juli 2016 yang lalu, sebelum waktu menunjukkan pukul sembilan, Rizal Ramli akhirnya ‘’dieksekusi’’ di istana. Menurut kabar yang beredar di lingkungan Sesneg, ‘’eksekusi’’ berlangsung kurang dari sepuluh menit. Jokowi didampingi Jusuf Kalla, ‘’sponsor’’ utama dan yang paling gigih menginginkan Rizal dihabisi dari kabinet. 

Rizal Ramli yang ksatria akhirnya menjadi pemenang yang berdiri secara terhormat dengan Mahkota Kebenaran. Esoknya, Rabu 27 Juli 2016, kabar direshuffle-nya Rizal diterima masyarakat bukan saja sebagai sebuah kabar dukacita demokrasi karena matinya nilai-nilai kebenaran di negeri ini saat ini, melainkan dimaknai juga sebagai momentum telah lahirnya seorang Negarawan yang ikhlas dalam membela kepentingan rakyat… 

Siapa sebenarnya Rizal Ramli?

Sejak usia enam tahun Rizal Ramli ternyata sudah yatim piatu. Dalam usia yang masih kanak-kanak Rizal telah merasakan sebenar-benarnya makna ungkapan Via Dolorosa, jalan kesedihan.

Tanpa ayah dan ibu Rizal kecil kemudian naik kapal laut menuju Jakarta. Di Tanjung Priok Rizal disambut sang nenek yang kemudian mengasuhnya dan tinggal di Kota Hujan, Bogor.

Neneknya yang butuh huruf yang ingin sekali mengetahui banyak hal dan selalu meminta Rizal kecil membacakan berita-berita suratkabar bukan hanya membesarkannya dengan kasih sayang tetapi juga mengajarkannya nilai-nilai kemandirian.

Dalam serba keterbatasannya misalnya Rizal mempelajari bahasa Inggris yang kini sangat dikuasainya dari Radio BBC, dan saban hari sambil berangkat ke sekolah Rizal menghafal kata per kata bahasa Inggris hingga perbendaharaan katanya dari waktu ke waktu bertambah banyak. Sejak SD Rizal juga jago matematika dan fisika, menyukai ilmu sejarah, dan suka sama Albert Einstein.

Waktu kuliah di ITB Rizal sempat buka biro penerjemah buat menambah biaya kuliah, mengalami banyak sekali kisah hidup yang unik dan menarik, hingga antara lain menjadi pimpinan Dewan Mahasiswa ITB yang menyebabkan dia dikejar-kejar Soeharto dan dijebloskan di penjara yang merupakan penjara ‘’almamaternya’’ Sukarno, penjara Sukamiskin, Bandung.

Singkatnya, kisah hidup Rizal bukan hanya penuh dengan ‘’perkelahian’’ dalam membela nilai-nilai kebenaran sejak dia mahasiswa, jadi aktivis, jadi ekonom, dan jadi pejabat tinggi negara, tetapi kisah hidupnya juga penuh hal-hal yang romantik. 

Meski sudah berkali-kali jadi pejabat tinggi negara, Rizal hidup secara sederhana dan tidak minta dimanjakan oleh berbagai fasilitas dari negara. Ruang kerjanya sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya di bangunan tua Gedung BPPT I lantai 3 yang terletak di Jalan Thamrin ternyata tidak dilengkapi WC, sehingga harus pakai ‘’WC umum’’ yang juga digunakan oleh para staf.

Waktu Rizal mulai berdinas di gedung tersebut lift-nya bukan saja dalam kondisi rusak tetapi juga sebagian sudah berkarat dan sering ‘’loncat-loncat’’ secara otomatis sehingga seringkali Rizal naik lift barang yang terletak di pojok lobi. Tidak jarang Rizal makan malam dengan nasi bungkus yang dibeli room boy di warung nasi belakang kantor.

Semua itu dilakoni Rizal secara wajar dan genuine. Rizal Ramli memang orisinil. Sudah terbiasa dalam kesederhanaan sejak kanak-kanak. 

***

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun