Tes Keperawanan, Untuk Apa? [2]
Masih tentang tes keperawanan. Di bagian kedua ini saya ingin lebih dulu menjelaskan beberapa pertanyaan ini; mengapa begitu banyak wacana yang mengharuskan perempuan itu harus begini, harus begitu, sementara laki-laki tidak seketat itu? Mengapa banyak para pakar dan penulis yang begitu detail membahas hal tentang perempuan, rincinya tentang jilbab, haidl, aurat, dll? Dan di saat yang bersamaan, seolah jarang—atau bahkan tidak ada—yang secara khusus mewacanakan tuntunan Islam khusus bagi laki-laki, agar ia hidup sebaik mungkin?
Pertama, harus dipahami bahwa untuk sementara ini, perempuan adalah pihak yang masih mendapat perlakuan diskriminatif dan dehumanisatif. Ini artinya, kehidupan laki-laki dipandang lebih ‘nyaman’ ketimbang perempuan. Maka, orang terutama para cendekiawan terpanggil hatinya untuk membela perempuan, menuju pemenuhan haknya yang seimbang dan adil.
Kedua, perlu dibedakan dan dicermati siapa pihak atau penulis yang mewacanakan diskursus tentang perempuan. Saya ambil contoh dua cendekiawan terkemuka KH.Husein Muhammad dengan Ust. Felix Siauw. Keduanya dianggap cendekiawan oleh masing-masing kalangan, keduanya juga penulis produktif, tetapi coba perhatikan racikan tulisan yang mereka gagas; akan berbeda dan bertolak belakang satu sama lain.
Ketiga, saya harus akui, bahwa di negeri kita budaya patriarkhi begitu merajalela. Tumbuh secara akut, dengan anggapan bahwa selamanya ‘perempuan harus tunduk kepada laki-laki tanpa kecuali.’ Perempuan selamanya harus dipimpin dan dibimbing oleh laki-laki.
Walhasil, dari tiga poin ‘aturan main’ di atas, barulah kita bisa memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan perempuan dan wacana-wacana yang digulirkan. Semua orang sepakat, bahwa perempuan adalah makhluk mulia dan harus dimuliakan. Islam juga menuntun demikian. Tetapi, pernah tidak, kita coba telisik orang per orang dengan latar belakang intelektual yang berlainan akan menghasilkan analisis dan gagasan yang berlainan pula?
Saya tadi sudah contohkan kasusnya. Antara KH. Husein Muhammad dan Ust. Felix Siauw. KH. Husein Muhammad, sedekat pandangan saya, adalah salah satu pengasuh-Kiaipesantren di Cirebon. Karena memang orang tuanya pun lekat dengan tradisi pesantren dan NU (Nahdlatul Ulama). Maka sejak kecil Buya Husein—begitu banyak santri memanggilnya—begitu gandrung dengan apa yang dikenal ‘kitab kuning’. Buya Husein pun tumbuh berkembang menjadi seorang ulama-intelek yang tidak hanya hebat dalam literatur kitab kuning, melainkan juga kitab putih.
Sementara Ust. Felix Siauw, sebagaimana data yang saya baca, ia sendiri awalnya beragama Katholik. Berdasarkan pengakuannya, ia merasa tidak puas dengan agamanya, keluarlah ia dari Katholik dan memeluk Islam (mualaf) pada tahun 2002. Lingkungan intelektualnya di kampus IPB (kita tahu bersama bagaimana kondisi mainstream Islam di sana). Dan sampai sekarang, beliau adalah aktivis ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selain getol mepropagandakan Khilafah Islamiyah (Negara Islam), juga konsen dalam wacana keperempuanan.
Maka di situlah saya coba membandingkan cara keduanya berargumen dan membedah persoalan-persoalan tentang Islam, khususnya tentang perempuan. Meskipun laki-laki, Buya Husein tidak pernah menonjolkan kelaki-lakiannya saat membela perempuan. Dalam banyak bukunya (Fiqh Perempuan, Islam Agama Ramah Perempuan,Ijtihad Kiai Husein, dll), beliau membela dengan perspektif perempuan. Mendudukkan perempuan sebagai manusia yang sama dan setara dengan laki-laki. Menjadikan perempuan sebagai objek bukan subjek. Menuntun para perempuan untuk berdaulat dan memenuhi hak-haknya.
Dan perspektif Buya Husein ini, tidak saya temukan pada argumen dan analisis Ust.Felix Siauw ketika beliau juga berikhtiar memuliakan perempuan. Dalam buku terbarunya, ‘Udah Putusin Aja’ misalkan dan juga kuli-twit (kuliah twitter) diakun pribadinya, saya memahami perspektif Ust. Felix Siauw berbeda jauh dengan perspektif yang digunakan Buya Husein. Sejauh yang saya baca, Ust. Felix Siauw misalkan mengharuskan perempuan menutup aurat perempuan secara keseluruhan, sampai memakai cadar. Juga, perempuan juga dihimbau oleh beliau agar selalu menurutiapa kata suami. Perempuan, katanya, kalau mau jadi istimewa harus menuruti apa kata suami; tak boleh keluar rumah tanpa izin suami, perempuan wajib urus rumah tangga dan diam di rumah saja, dll.
Akhirnya, kalau kemudian kita kaitkan dengan persoalan ‘tes keperawanan’, saya menduga, analisis Buya Husein dan Ust. Felix Siauw juga akan berbeda dan bertolak belakang.
Lagi pula, tes keperawanan pada perempuan itu apa untungnya? Yang ada justru membuat mereka (siswi-siswi) merasa takut dan terbebani. Bukan konsen pada tugas utamanya belajar, malah justru mengkhawatirkan apakah ia sudah perawan atau tidak? Mengerikan.
Juga apa untungnya jika, ternyata ada seorang perempuan yang, anggap saja, sudah tidak perawan saat mau menikah atau kadung berumah tangga? Apakah kualitas perempuan hanya ditentukan oleh perawan atau tidaknya saja? Apakah kalau perempuan sudah tidak perawan berarti dia terlaknat dan tidak layak hidup di dunia bersama kita? Sehina itukah perempuan?
Sungguh saya miris melihatnya. Padahal, bukankah kulitas seseorang (perempuan dan laki-laki) yang berhak menentukan kualitasnya adalah Tuhan semata? Bukankah perempuan yang telah berbuat kesalahan, masih ada pintu taubat untuknya? BukankahTuhan tidak menentukan syarat tertentu bagi manusia untuk hidup di dunia ini?
Terakhir, saya ingin tutup tulisan bagian kedua ini dengan; kita harus cermat ‘membaca’ tulisan penulis.
Darimana ia berlatar belakang dan lain seterusnya. Wacana-wacana dan buku-buku tentang perempuan, selama hasil karya itu menuntun pada arah yang positif dan berperspektif ramah perempuan, saya rasa tidak ada masalah. Wacana dan buku tentang perempuan yang menjelaskan bahwa perempuan adalah manusia yang derajatnya sama dengan laki-laki, punya hak berkiprah di wilayah publik, punya hak berpendidikan, berkehidupan layak, dan lain-lain.
Meskipun memang, laki-laki—termasuk saya—harus berusaha bisa mewacanakan dan membuat karya (buku, dll) yang misalkan khusus membahas tentang bagaimana menjadi laki-laki yang punya perspektif perempuan. Laki-laki yang ramah terhadap perempuan. Tetapi juga, mari perempuan bersama-sama saling berkarya untuk kedaulatan dirinya dan sesama. Memang, akan ada kelebihan tersendiri ketika perempuan itu menulis. Sebagaimana laki-laki menulis tentang diri dan kehidupannya. Demikian. Wallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H