Mengurus Suami
Kenapa suami diurus? Memangnya dia bayi? Atau jenazah, seperti orang yang sudah mati? Hehe. Suami itu kan laki-laki sempurna, akal pikirannya sehat, badannya sehat, kenapa mesti segala-gala dilayani istri. Nggak malu sama para santri, mereka mengurusi keperluan mereka sendiri di pesantren. Mengelola keuangan sendiri, cari makan, mandi, pakai baju, mencuci, menyapu, membersihkan kamar mandi, merapikan kamar tidur, dll, semuanya dilakukan sendiri.
Coba berikan alasan satu saja, kenapa suami segalanya harus diurusi atau dilayani? Nggak ada. Ajaran Islam juga nggak gitu-gitu amat. O, mungkin karena suami merasa berjasa sudah mencari nafkah, membiayai kehidupan keluarga dari uang hasil bekerjanya, gitu? Iya? Kalau alasannya cuma itu, para istri juga bisa cari uang sendiri. Malah terlampau banyak para istri yang berpenghasilan lebih tinggi dari para suaminya.
Renungkan baik-baik, salah satu hadits Nabi berikut ini; "Ketika ditanya tentang aktivitas Nabi di rumah, Aisyah menjawab, "Beliau melayani keluarga, menjahit baju, mengesol sandal, memerah susu, mengerjakan keperluan sendiri, dan menambal timba. Begitu tiba waktu shalat, beliau lalu shalat." (HR. Bukhari)
Menurut hadits di atas, jadi yang harus dilayani itu siapa; istri atau suami? Kalau mau jujur, merujuk pada hadits itu, istrilah yang harus dilayani. Tetapi apa ada istri yang mau dilayani; nggak ada. Jaranglah minimal. Karena istri siapa yang dilayani. Dari dulu juga istri yang selalu melayani suami. Di situlah sebetulnya budaya patriarkhi begitu bahaya dan menjadi-jadi. Seolah-olah istri seperti pembantu.
Pesan saya untuk para istri, membahagiakan diri boleh, menghibur diri juga silakan. Cuma caranya nggak gitu juga. Semua pekerjaan rumah tangga semuanya dikerjakan istri seorang diri, tanpa sedikit pun pernah mendapat bantuan suami. Amit-amit, suami model apa suami kaya gitu. Hehe. Para istri tidak boleh merasa rendah diri. Menganggap bahwa suami lebih mulia dari istri. Heh, itu ajaran siapa? Islam nggak gitu. Beneran.
Ingat, komitmen awal dulu saat akad pernikahan. Ijab kabul itu adalah perjanjian yang mengindikasikan keduanya siap saling membantu dan siap saling meringankan. Mengurus rumah tangga itu berat lho ya, jangan dianggap enteng. Kalau nggak percaya, silakan para suami tukeran peran, barang satu hari saja; suami mengerjakan semua urusan rumah tangga dari A-Z seorang diri. Nggak akan kuat. Jadi tolonglah, hargai jerih payah para istri. Bahagiakan mereka, bantu mereka.
Bagaimana saya nggak jengkel coba, istri sih sudah bangun tidur sejak diri hari, sehabis shalat malam, shalat shubuh, langsung ke dapur, ya masak lah, belanja lah, mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, mengepel, dan lainnya. Sementara suami, tidur masih dibangunkan, pengin mandi, handuk dan segala perlengkapan sudah disediakan, pengin sarapan sudah tinggal makan, pakaian kerja semuanya sudah rapi, ya baca koran, ya ngopi, dll, masya Allaaah enak bener ya jadi suami.
Sementara istri, sesudah melayani suami, ya giliran melayani anak-anak, sudah mah anaknya banyak, rewel-rewel, berantem terus. Masya Allaaah pusing saudara-saudara! Yang ini pengin sarapannya sama ini, anak yang ini pengin sarapan sama itu, haduuuh super repot deh! Sementara suami enak-enakan cuma lihatin dan 'uncang-uncang angge' saja.
Jadi tolonglah, untuk para suami, pikiran dan hatinya coba dibuka. Para istri bukan mengeluh. Tetapi mereka hanya ingin engkau, suaminya, punya kesadaran dan kepedulian terhadap rumah tangga dan anak-anak yang sedang dibina bersama. Mana mungkin bisa kokoh kalau rumah tangga yang fondasinya kuat cuma di pihak istri. Sekali lagi, ayolah bantu para istri sedikit-sedikit, bertahap, dan perlahan. Gitu ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H