Dari pagi sampai malam, saya dan suami berkutat mencari uang sebesar itu, dari meminjam orang tua, meminjam adik, sampai saudara.Â
Semua saya mintai tolong, namun tidak ada satu pun yang bersedia meminjamkan, dengan berbagai alasan.Â
Ada yang beralasan uangnya sudah habis, tidak ada uang, belum gajian, tidak punya uang, dan seribu alasan lain, yang membuat saya menelan pil pahit.Â
Saya menangis, dan menyalahkan suami, karena menganggap suami tidak mampu mengatasi masalah.Â
Apalagi saat itu, saya menganggap keluarga suami tidak bisa melakukan apa-apa, mengingat selama itu hanya keluarga saya, terutama orang tua yang selalu membantu.Â
Saat itu, saya paksa suami untuk mencari pinjaman pada keluarganya, karena saya berpikir mereka tidak pernah membantu sama sekali.Â
Lama saya menunggu suami mencari pinjaman uang, saya hanya bisa menangis, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan suami dan banyak hal.Â
Hingga saat yang tidak saya duga, dalam keadaan sedih bercampur marah, telepon pun berbunyi, dan saya terpaksa mengangkat setelah berkali-kali berdering.Â
Saya angkat telepon dengan jawaban yang kurang menyenangkan, ketus dan marah, sesekali keluar suara sengau, karena hidung mampet akibat tangisan yang tidak berhenti.Â
Seorang lelaki, dengan suara seperti banci terdengar mendayu-dayu, menelpon malam-malam, mencari suami saya.Â
Saya berpikir negatif pada orang itu, bahkan juga berpikir negatif pada suami, karena pikir saya untuk urusan apa seorang lelaki seperti itu mencari suami saya.Â