Ketiadaan sering dipahami sebagai kekurangan, sebuah kekosongan yang menuntut untuk diisi. Â Sebuah donat tidak akan disebut donat tanpa lubangnya. Dua gunung tidak akan menjadi "dua" tanpa lembah yang memisahkan mereka. Bahkan kata-kata, yang tampak utuh dalam dirinya, tidak akan bermakna tanpa ruang di antaranya. Dengan kata lain, segala sesuatu bergantung pada ketiadaan untuk memperoleh identitasnya. Namun, apa jadinya jika ketiadaan itu sendiri sebenarnya tiada dan tidak pernah ada?
Ketiadaan ini bukanlah nihilisme murni. Ia adalah "ruang" atau "wadah" yang memungkinkan keberadaan untuk tampil. Dalam istilah yang lebih metafisis, ketiadaan adalah cermin di mana keberadaan melihat dirinya sendiri. Tanpa cermin ini, keberadaan kehilangan definisi; ia ada tanpa menjadi apa-apa.
Kehancuran dalam Penyatuan
Kita sering menganggap kehancuran sebagai ancaman terhadap eksistensi. Sebuah bangunan yang runtuh kehilangan bentuknya, kayu yang terbakar, tongkat yang patah, sesuatu yang hengkang dari genggaman. Namun, ada sesuatu yang lebih menakjubkan daripada keterpisahan: penyatuan total. Ketika segala sesuatu, segala kuantutas menjadi satu, tiadalagi bayang-bayang ketiadaan, tidak ada lagi perbedaan, tidak ada lagi ruang untuk pergerakan, bahkan tidak ada lagi eksistensi yang dapat dikenali.
Ini adalah paradoks yang sering diabaikan: bahwa kesirnaan yang paling menakjubkan bukanlah kehamcuran, tetapi fusi total. Dalam penyatuan yang ekstrim, segala sesuatu kehilangan individualitasnya. Bahkan ketiadaan, yang selama ini menjadi dasar keberadaan mati.
"Ketiadaan itu sendiri sebenarnya tiada dan tidak pernah ada" dari perspektif tunggal yang telah terbebas dari deskripsi oposisi; ketiadaan terbunuh kapan saja oleh kesadaran ini, atau jika manusia tidak menyadarinya, pada akhirnya ketiadaan tetap terbunuh yang ada hanya eksistensi mutlak dan pada akhirnya dan kapan saja manusia bisa dan/atau akan menyadari bahwa nyatanya kenyataan yang nyata hanyalah 1, dialah Allah yang esa.
Keberadaan Mutlak: Tuhan sebagai Zahir dan Batin
Ketika ketiadaan itu sendiri adalah tirai keberadaan yang paling sejati secara indrawi atau kuantum, manusia tidak bisa tidak menyebutnya Tuhan. Dalam tradisi Islam, Allah adalah satu-satunya yang ada secara mutlak. Segala sesuatu yang lain hanyalah manifestasi dari keberadaan-Nya. Ia adalah Al-Haqq (Yang Maha Benar), yang melampaui segala bentuk dan identitas, tetapi tetap hadir dalam segala bentuk dan identitas.
Allah menyebut diri-Nya sebagai zahir dan batin. Sebagai zahir, Ia adalah keberadaan yang nyata, yang dapat dikenali melalui manifestasi-Nya dalam alam semesta. Sebagai batin, Ia adalah keberadaan yang tersembunyi, yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Kedua sifat ini bukanlah kontradiksi, tetapi dua aspek dari realitas yang sama.
Penutup: Melihat Ketiadaan dengan Mata Baru
Dalam ketiadaan, kita mengenal keberadaan. Dalam celah, kita memahami bentuk. Dalam kehancuran, kita menemukan identitas. Namun, ketiadaan bukanlah nihil total; ia adalah esensi yang mendasari segala sesuatu. Ketika manusia merenungkan ini, ia melompati seluruh definisi mendekati pemahaman tentang keberadaan yang sejati. Dan di puncak pemahaman ini, ia menemukan Tuhan: keberadaan yang mutlak, yang tidak tergoyahkan oleh waktu atau ruang, yang menjadi asal-usul dan tujuan akhir segala sesuatu.