KEJUJURAN : ROMANTISME KEADILAN DAN KOMPLEKSITAS MENTAL
Oleh
Maman Abdurohman
Edisi
Bilba
Keadilan merupakan representasi dari kebenaran yang memiliki karakteristik tunggal (Al Haq), yang membangun kesadaran jiwa manusia secara universal mengenai keteraturan dan keseimbangan, membentuk sebuah konsep yang merajut benang-benang kompleksitas moral manusia, mengundang kita untuk menelusuri lorong-lorong gelap dan terang dari kebenaran universal. Dalam perjalanan panjangnya, keadilan menjadi panggilan jiwa yang tak terelakkan, membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam tentang keteraturan kosmik yang mengendalikan alam semesta.
Namun, seperti petualangan di lautan yang tak berujung, selama berabad-abad manusia terus berputar-putar dalam labirin perdebatan yang tak kunjung usai tentang esensi keadilan. Dalam bisingnya sorak-sorai intelektual, kita seringkali tersesat dalam gangguan ego dan kepentingan diri, melupakan esensi sejati dari apa yang kita sebut sebagai keadilan, dan perdebatan itu tidak akan pernah selesai, karena sebenarnya mereka bukan sedang memperdebatkan keadilan, melainkan memperdebatkan apa yang pantas dan tidak pantas menurut versi diri atau golongannya masing masing.
Sesungguhnya, keadilan adalah bunga yang tumbuh di taman yang subur, tetapi juga ranting yang menjulang tinggi di medan yang tandus. Perdebatan yang menggema dari zaman ke zaman hanya mencerminkan kebingungan manusia yang tak pernah benar-benar memahami hakikat keadilan itu sendiri.
Para pemikir dan filosof yang menjelajahi lautan keadilan melalui kata-kata mereka yang penuh kebijaksanaan sering kali terperangkap dalam jaring-jaring asumsi dan kepentingan pribadi. Dengan setiap pena yang menodai kertas putih, mereka mencoba merangkai kata-kata menjadi jalinan pemikiran yang menggugah jiwa, namun seringkali terjebak dalam hampa kekosongan yang tak terhingga.
Selama ini 'Materil' keadilan dalam perdebatan itu telah terdistorsi dan menjadi Bias ; Sebagaian menganggap ini bisa dipengaruhi berbagai faktor seperti latar belakang Agama, sejarah, geografis, sosial, ekonomi, budaya dan lain lain, tapi "itu sebenarnya bukanlah masalahnya!" Masalahnya adalah ketika faktor-faktor itu dipersonifikasi kedalam sebuah kepentingan.
Oleh karena demikian, mau tidak mau kita harus mengakuinya secara jujur bahwa mental kita sebagai manusia tidak pernah benar-benar menerima keadilan itu sendiri.Â