DARI ANTROPOSENTRISME KE HARMONI KOSMIK : MENYUARAKAN SUARA ALAM DALAM PERBANDINGAN HUKUM
Oleh
Maman Abdurohman
Edisi
Seni Hukum Bilba
I. PENDAHULUAN
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
(QS. Al-Fatihah 1: Ayat 1)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.""
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30)
Di sisi lain dan selama berabad-abad, kajian hukum didominasi oleh perspektif antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Konsep ini separuh benar dan akan benar seluruhnya sepanjang dimaknai dengan manusia tetap memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan alam dan tidak boleh merusaknya. Namun konsep antroposentrisme yang memiliki kecenderungan menempatkan manusia pada posisi superior dan dapat mengeksploitasi alam tanpa batas.
Sistem hukum yang kita kenal saat ini sebagian besar dibangun di atas fondasi pemikiran yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan manusia semata. Namun, dalam era di mana krisis lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem semakin mengkhawatirkan, kita perlu mempertanyakan kembali paradigma ini dan mencari alternatif yang lebih holistik.
Hukum, sebagai salah satu pilar penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, seharusnya tidak hanya merefleksikan kepentingan manusia, melainkan juga mempertimbangkan keselarasan dengan hukum alam yang mendasari seluruh tatanan kosmik. Hukum alam, yang mencakup prinsip-prinsip universal seperti keadilan, moralitas, dan keseimbangan ekologis, seharusnya menjadi fondasi bagi sistem hukum yang kita bangun.
Esai ini adalah bahwa meneguhkan peran hukum alam dalam diskursus perbandingan hukum merupakan langkah penting untuk mencapai harmoni kosmik yang lebih luas. Dengan menyuarakan suara alam dalam kajian lintas budaya tentang sistem hukum, kita dapat melampaui batas-batas antroposentrisme dan mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab manusia terhadap seluruh ekosistem.
II. HUKUM ALAM DAN KRITIK TERHADAP ANTROPOSENTRISME
Konsep hukum alam (natural law) memiliki akar yang dalam dalam sejarah pemikiran filsafat dan teologi. Sejak zaman Yunani kuno, para filsuf seperti Plato dan Aristoteles telah menyuarakan gagasan tentang hukum alam yang bersifat universal dan abadi, yang berbeda dengan hukum positif yang diciptakan manusia. Dalam Islam, hukum alam disebut dengan istilah sunatullah, merupakan konsep bahwa Allah memiliki aturan aturan yang tetap dalam penciptaannya yang berlaku untuk seluruh alam semesta seperti yang dikemukakan pada firman Allah dalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 62 dan Al Fat'h ayat 23, konssep ini mengacu kepada hukum-hukum yang berlaku di alam semesta.
Dalam tradisi kristen, pemikir seperti Thomas Aquinas mengembangkan konsep hukum alam sebagai refleksi dari hukum ilahi yang mengatur seluruh kosmos.