Maka, pada puncak refleksi ini, ilmul yakin muncul sebagai manifestasi tertinggi dari perpaduan antara keputusan aqal yang rasional dan keyakinan yang mengalir dari kedalaman qolbu. Dengan demikian, kita tidak hanya menemukan kebenaran, tetapi juga mengakui bahwa kebenaran itu sendiri adalah proses yang terus berlanjut, terbuka untuk pemeriksaan dan penafsiran yang lebih dalam. Dengan demikian, pembaca diundang untuk memperdalam pemahaman mereka tentang hubungan yang kompleks antara ilmu dan iman dalam pencarian akan kebenaran transendental, sambil tetap terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan terus mengasah kebijaksanaan intelektual dan spiritual mereka dalam perjalanan ini.
Dalam perjalanan ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar untuk menemukan kohesi antara ilmu dan iman: apakah alam semesta dan segala keteraturannya terjadi secara acak atau diatur dengan suatu aturan? Aqal menjawab bahwa keteraturan tidak mungkin terjadi tanpa pengatur. Namun, pertanyaan 'siapa yang mengatur?' memicu perjalanan pemikiran yang lebih dalam.
Seumpama aqal dalam keadaan moderat bersama segala kebijaksanaannya akan menampung seluruh informasi yang diterimanya tentang eksistensi alam semesta dan segala yang berlaku pada alam semesta ini seperti entitas, unit, kuantitas, ukuran, konsistensi, dan segala keteraturannya seperti sifat dan fungsinya.
Kemudian akal mulai mendefinisikan beberapa kualifikasi untuk memenuhi segala keingintahuan dan menjawab tuntutan itu, semisal "kalau begitu Ia haruslah memiliki superioritas atau kemahaan: dengan deskripsi bahwa ia harus tunggal; maha suci, ia harus maha berkuasa, maha besar, maha agung, maha tinggi, maha luas maha mencipta, maha memelihara, maha menentukan, maha cerdas, maha berilmu, maha bijaksana, dan segala macam kemahaan yang lainnya; maka tentu ia wajib tidak sama dan tidak mungkin disamai, ia harus tidak serupa dan tidak mungkin serupai.
Kualifikasi di atas masih bersifat umum karena itu aqal membutuhkan referensi eksternal untuk mendapatkan jawaban yang lebih eksklusif, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang kita sebut teologi mengenai hal ihwal kemahaan itu kepada siapa harus dinisbatkan? Kemudian berdasarkan memori kolektif dogmatis lagi-lagi secara umum dikenal dengan istilah 'Tuhan' yang telah tersimpan dalam perbendaharaan aqal sebelum atau sesudah pertanyaan di atas itu muncul dengan mendapat catatan dengan beberapa istilah, sebutan, atau nama yang mungkin merefleksikan kualifikasi-kualifikasi yang diajukan yaitu: "Allah, Yesus, Yahwe (YHWH), Brahman, Sidarta, Ahura Mazda, Tao, dan istilah-istilah lainnya sebanyak yang diketahui aqal."
Sayangnya istilah atau sebutan-sebutan itu muncul dalam berbagai agama atau kepercayaan, tentu saja aqal belum bisa mendapatkan keputusan yang eksklusif, namun dengan parameter yang diberikan oleh aqal, kita bisa mempertimbangkan lebih lanjut kualifikasi untuk mengatasi tuntutan tersebut. Hal ini membawa kita pada pencarian akan Tuhan, yang dikenal dalam berbagai agama dengan berbagai nama. Tentu, pertanyaan kemudian timbul: Tuhan yang mana yang benar?
Melalui proses penilaian yang disyaratkan oleh aqal, kita berusaha memilih istilah Tuhan yang paling sesuai dengan kualifikasi yang diajukan. Mungkin upaya ini tidak cukup. Kita juga perlu memeriksa kecocokan ajaran dari berbagai kepercayaan untuk memperkuat keyakinan kita, seperti konsistensi, logisitas, utuh, sistematis, mendasar, dan universal.
Setelah itu, barulah aqal bisa menemukan keputusan yang benar dan eksklusif: "ini disebut ilmul yakin atau keyakinan di dalam hati yang terverifikasi melalui keputusan aqal."
Sebagaimana keputusan, maka masih memungkinkan ada suatu upaya yang dalam istilah hukum disebut dengan 'banding' atau terbuka untuk diperiksa dan diperkuat melalui pemahaman yang lebih dalam; yang diperiksa adalah keputusan akalnya, bukan keyakinannya.
Dengan menyelami perjalanan ini, kita menghadapi tantangan besar dalam mencari makna eksistensi dan keberadaan Tuhan. Namun, melalui refleksi filosofis dan pertimbangan rasional serta dengan menjaga kohesi antara setiap langkah pemikiran, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang hubungan antara ilmu dan iman dalam pencarian akan kebenaran transendental. Dengan tetap terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan terus memperdalam pemahaman kita, kita dapat melangkah maju dalam perjalanan spiritual dan intelektual kita dengan keyakinan yang lebih kokoh."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H