[caption id="attachment_171354" align="aligncenter" width="480" caption="Mango Mousse ©Mamak Ketol™"][/caption]
Dalam kamus tata-boga barat, dessert adalah adalah makanan penutup yang umumnya manis. Istilah dessert lazim dipergunakan di Amerika, Kanada, Australia dan Irlandia.
Karena hidangan penutup ini biasanya memiliki cita rasa manis, di negara tertentu, seperti Inggris atau India, dessert dikenal dengan sebutan sweet, Di Inggris, khusus untuk kalangan menengah ke atas, nama lain dari sweet adalah pudding dengan pengecualian black pudding tentunya. (Black pudding atau blood pudding adalah sejenis sosis berwarna hitam yang masuk dalam daftar full English Breakfast yang tradisional.) Di negara Prince Charles ini, istilah dessert lebih sering digunakan apabila penutupnya terdiri dari buah.
Pudding sendiri dapat berupa coklat, kue-kue manis, pastry, buah segar atau fruit salad, es krim bahkan serbat, tapi yang jelas bukan puding/agar-agar. Kalaupun ada agar-agar yang masuk dalam kuliner internasional biasanya dalam sajian terrine, starter yang mengandung jelly atau gelatin.
Selain berasa manis, ada juga dessert yang asin seperti keju, yang dalam jamuan makan resmi disebut cheese platter. Pencuci mulut ini terdiri dari beberapa macam irisan keju, biskuit, batang seledri, buah anggur yang biasa ditemani dengan cocolan mango chutney atau acar cranberry.
Kata dessert berasal dari bahasa Prancis desservir yang artinya to clear the table (membereskan meja) dan to serve (menghidangkan).
***♥♥♥♥♥♥♥***
[caption id="attachment_171356" align="aligncenter" width="500" caption="Mango on Sticky Rice ©Mamak Ketol™"][/caption]
Sekarang … dessert itu sudah ada di atas meja.
“Enjoy the desserts”, kata pramusaji itu sambil tersenyum ramah.
Dua Mango Mousse dan satu Mango on Sticky Rice – mangga segar yang ditata di atas ketan bertabur wijen atau dalam bahasa Thailand disebut Kow Neuw Mamuang – diletakkan di depan kami masing-masing.
Mango Mousse untukku dan Will serta Ketan Mangga untuk Kanya.
“I’m so hungry that I could eat a horse,” canda Kanya sambil memakan irisan mangga.
“Wah, aku sih nggak sanggup makan penutup yang berat ini. Ususku pendek,” kataku sambil menyuap sesendok Mango Mousse.
“Mousse ini sebenarnya terbuat dari apa sih?” tanyaku pada Kanya.
“Aslinya, mousse berasal dari … lagi-lagi Prancis yang artinya buih atau busa. Mousse terbuat dari kocokan telur dan krim. Wujud akhirnya bisa ringan dan mengembang, menggembung dan kenyal sampai padat, seperti Mango Mousse ini. Nah yang menjadi khas Thailand adalah penambahan puree buah mangga. Sebagai pengganti krim digunakan coconut milk. Penggunaan santan ini akan lebih menonjolkan rasa mangga. Selain itu dibandingkan dengan krim, pudding ini tak mengandung laktosa dan mengandung lemak yang sehat.
“Hm … pengetahuanmu tentang kuliner memang patut diberikan dua jempol ke atas,” kataku (meskipun latar belakang pendidikanmu adalah filsafat, sambungku dalam hati).
“Kalian masih ingat diskusi kita tentang Kalama Sutta?” tanya Will sekonyong-konyong.
“Oh, tentang “10 commandment” itu?” jawabku sambil terkekeh, mengingat betapa semangatnya Kanya “mendongeng” tentang 10 poin ajaran Buddha. Kanya sudah convert menjadi Katolik ketika hijrah ke negara Ketol. Pertemuannya dengan seorang pastor pada acara fresher week, dan undangan demi undangan untuk mengikuti kursus bahasa Inggris gratis di gereja telah mengubah keyakinannya.
“Tentu saja aku mengingatnya, bahkan aku sendiri masih bertanya-tanya tentang poin-poin yang ada dalam Kalama Sutta itu. Satu yang paling membekas adalah Ma nayahetu - 'Do not believe something merely because it accords with your philosophy'. Dengan kata lain, janganlah kita mempercayai suatu kebenaran berdasarkan deduksi atau kesimpulan, belaka," kata Kanya.
“Yang paling aku ingat dan masih hafal hanya Ma paramparaya - Do not believe something merely because it has become a traditional practice.' Kita sebaiknya tidak tergiring untuk melakukan sesuatu hanya karena tradisi itu sudah dilakukan secara turun-temurun. Dengan dasar itulah aku melepas turbanku, meskipun aku memang tak pernah memotong rambutku,” timpal Will panjang-lebar.
“Salah satu ayat yang dulu sempat membuatku terkesiap adalah Ma Pitakasampadanena - 'Do not believe something just because it is cited in a text.' Jangan terlalu mempercayai sesuatu hanya karena hal itu ada di satu kitab suci,” aku menambahkan.
“Dalam filosofi agama Sikh, disebutkan ada fakta tentang kebenaran tertinggi yang dalam segala hal bersifat imanen; yang menciptakan segala sesuatu dan imanen juga dalam penciptaannya,” kata Will.
“Menarik sekali menyaksikan keberadaan beberapa kitab yang “disucikan”. Herannya ada saja pembaca kitab suci tertentu yang serta-merta merasa suci apabila sudah membuka lembaran-lembaran itu secara rutin. Ayat demi ayat dilafalkan dan dikutip untuk menghakimi baik yang membaca ataupun yang tidak membaca buku yang sama. Mungkin ungkapan The Proof of the Pudding is in the Eating dapat menggambarkan hal ini. Agar kita semua dapat mencicipi semua buku santapan rohani itu untuk dapat menemukan kebenaran imanen,” kataku sambil membetulkan kerudungku.
Baik Kanya maupun Will manggut-manggut. Mereka larut dalam pikiran mereka masing-masing. Pikiranku pun melayang. Terkenang Peterporn. Teringat praktisi hukum yang mestinya sudah lebih paham dengan kitab yang sudah sering mereka geluti, dan mungkin sudah hafal di luar kepala. Tapi kenyataannya ... apa yang terjadi … ? Sayang sekali … pudding ku sudah habis.
Tulisan sebelumnya:
Bagian 1: Starter: A Table for Three
Bagian 2: Main Course: William Singh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H