Tak Ada Akar Rotan pun Jadi
Oleh Maryati
Cerita kemarin sore berawal dari sebuah pepatah yang menginspirasi pada otak yang lagi pusing memikirkan bagai mana cara supaya bisa menyelamatkan anakku yang bungsu dan mendiamkannya supaya tidak teriak-teriak menangis. "Tak ada akar rotan pun jadi."
Seperti biasa setiap dua hari sekali, kami mengunjungi anak yang nomor tiga di Pondok. Waktu berkunjung hanya diperbolehkan selama satu jam saja. Mulai jam empat hingga jam lima Sore.
Hanya aku, si Bungsu, dan si Cikal yang bisa pergi berkunjung. Sedang ayahnya belum pulang kerja. Si Cikal pun hanya bisa mengantar kami berdua saja ke Pondok, tidak bisa ikut berkunjung. Nanti, setelah pulang mengajar anak TPA, baru dia akan menjemput kami berdua di depan pintu gerbang Pondok Pesantren Khalifatullah.
Berhubung ada suatu hal yang tidak bisa ditinggalkan di TPA, akhirnya dia menelepon dan menyampaikan kepada kami bahwa dia akan telat menjemput.
Mendengar kabar seperti itu, si Bungsu langsung berkata kepadaku, " Bu, kita pulang jalan kaki saja ya, Bu? Tidaklah, Nak, kejauhan kalau kita jalan kaki!" jawabku.
Kalau begitu, kita tunggu di simpang saja ya, Nak, tidak usah di Pondok lagi tunggunya. Ayolah, Bu cepat!"
Sampainya di simpang empat, si Bungsu merasa senang. Sebab, di situ dia bisa melihat keramaian orang berjualan, ramainya jalan raya, dan saluran parit yang sudah diberi pembatas dengan jalan raya.
Baru saja jingkrak-jingkrak merasa senang, eh tak lama kemudian dia malah jingkrak-jingkrak dan teriak-teriak sambil menangis. Ternyata saat asyik nongkrong melihat saluran air, dia enggak sadar kalau sarang semut telah dia injak.
" Ibu tolong, Bu !" ada semut banyak di kaki Dede.
Langsung saja dia kupindahkan dan  di suruh melepaskan kedua sandalnya. Teriakkan dia semakin keras, aku sampai kehilangan akal harus bagaimana menolong dia.
Akhirnya terlintas di otakku akan sebuah pepatah" Tak ada akar, rotan pun jadi." Obat untuk mengatasi gigitan puluhan semut merah, biasanya menggunakan minyak kayu putih, minyak Butbut, Balsem, GPU DLL.
Namun, saat itu aku tidak membawa apapun kecuali air panas yang tersisa di Termos. Air yang biasa aku bawa untuk anakku di Pondok. Sengaja kubawa buat anak di Pondok biar tiap bangun tidur dan mau tidur, dia harus meminum air hangat. Tujuannya agar menghindari sakit tenggorokan dan sakit batuk. Maklum dia anak baru, mungkin malu kalau harus meminta ke Kantin.
Alhamdulillah dengan cara dibaluri air panas dari termos itu, anakku jadi diam dan tidak teriak-teriak lagi. Namun, tangankulah yang kepanasan, karena sebelum kuusap pada kaki si Bungsu, aku taruh dulu ditanganku.
Nah, begitulah cerita di sore itu, tak ada yang lebih berharga untuk seorang Ibu. Adalah kebahagiaan dan keselamatan anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H