KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah dan Hizbul Wathan)
"Hizbul Wathan apaan sih? Kok seragamnya gitu, kayak pramuka!" Tanya teman saya ketika sedang melihat pawai peserta muktamar Muhammadiyah di Jogja, kamis (1/7) kemarin. Sebetulnya saya ingin memuaskan keingintahuan dia, tapi ketika mulut saya terbuka yang keluar justru kata, "Wow!"
Sekelompok orang, laki-laki dan perempuan berumur sekitar 60 th-an sedang berjalan tegap dan rapi. Tatapan mata mereka lurus kedepan, peluh yang membasahi muka dan tubuh mereka tidak dihiraukan. Dengan penuh semangat mereka berjalan kedepan layaknya pasukan berangkat perang. Genderang dipukul bertalu-talu diikuti suara terompet yang mengiringi langkah mereka. Sungguh pemandangan yang mengagumkan bagi saya. Meski kerap melihat pasukan baris-berbaris. Tapi kali ini berbeda. Kekaguman saya itu lebih kepada semangat yang ditunjukkan para senior-senior HW ini. Kekompakan, kedisiplinan dan semangatnya yang masih terjaga meski usia mereka sudah lanjut. Merinding saya dibuatnya.
"kok lucu ya seragamnya," komentar seorang perempuan dibelakang saya. Entah kepada siapa, mungkin temannya. Agak merusak mood kekaguman saya sebenarnya.
Ya kalo ngomongin penampilan sih iya, kakek-kakek memakai celana pendek biru tua dengan dipadu baju coklat tua memang bukan perpaduan yang serasi sebetulnya. Tapi kalo ngomongin umur, HW termasuk organisasi kepanduan tertua, lebih tua dari Negara Indonesia bahkan.
Sejarah berdirinya Hizbul Wathan ini dimulai ketika KH. Ahmad Dahlan melihat sekelompok anak-anak baris-berbaris di Pura Mangkunegaran, Solo. "wuah, keren ini coy, kita (Muhammadiyah) juga harus punya nich!" Yah meski kata-katanya tidak persis seperti itu, yang penting ditahun 1918 Hizbul Wathan berdiri tapi dengan dengan nama Padvinder Muhammadiyah yang berarti Kepanduan Muhammadiyah. Kegiatannya meliputi baris-berbaris, bermain tambur dan olahraga. Kemudian ditambah PPPK dan kerohanian. Biasanya diadakan setiap minggu sore. Untungnya karena dimasa itu belum ada playstation, internet, bioskop, kafe dan mal, banyak pemuda dan anak-anak yang tertarik ikut. Lumayan buat isi waktu.
Tahun 1920, muncul gejolak yang terjadi di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri tentunya perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Maka dengan penuh semangat perjuangan, Padvinder Muhammadiyah diusulkan diganti menjadi Hizbul Wathan yang berarti Pembela Tanah Air. Nasionalis banget ya? Coba kalo pemimpin sekarang itu semangatnya kayak orang-orang dulu.
Kembali ke perjalanan HW, pada tanggal 13 Januari 1921 barisan HW ikut mengantarkan Sri Sultan HB VII pindah dari keraton Yogyakarta ke Ambarukmo. Beberapa hari kemudian juga ikut andil dalam perayaan penobatan Sri Sultan HB VIII. Ditonton oleh ribuan orang dihadapan tamu dan khalayak ramai. Mulai saat itu HW menjadi perhatian dan terkenal dikalangan umum. Semacam selebritis lokal gitu deh. Ketenaran HW rupanya menarik perhatian M. Ranelf seorang pemimpin NIPV (perkumpulan kepanduan Hindia Belanda sebagai cabang dari kepanduan di Negeri Belanda). HW diajak untuk bergabung dengan NIPV. "DEAL OR NO DEAL!" tantang NIPV. "NO DEAL!" tolak HW mantap.
Meninggalkan NIPV yang kecewa karena lamarannya ditolak, pada tanggal 13 Maret 1921 KH. Fachrudin menunaikan ibadah haji dan diantar oleh barisan Pandu HW dan warga Muhammadiyah. KH. Fachrudin sempat berpesan didepan anggota-anggota HW dengan menanamkan anti penjajah pada anak HW: "Tongkat-tongkat yang kamu panggul itu pada suatu ketika nanti akan menjadi senapan dan bedil."Pesan tersebut rupanya menjadi kenyataan. Di masa penjajahan Jepang, banyak anggota Pandu HW yang masuk ke PETA. Diantaranya; Soeharto (Presiden), Soedirman (Panglima Besar TNI), Mulyadi Joyomartono, Kasman Singodimejo, Yunus Anis, dll.
Selayaknya penjajah, kalau tidak menindas dan melarang rasanya gak afdhol. Salah satu larangannya adalah berdirinya pandu-pandu di tanah air. HW termasuk yang kena getahnya. Tapi untungnya, terima kasih kepada Amerika yang berdosa mengebom nuklir Hiroshoma dan Nagasaki, Jepang akhirnya gak lama-lama di Indonesia.
Dengan angkat kakinya para penyuka harakiri itu dari tanah air betadan merdekanya Indonesia, para panduholic menggeliat bangkit. Lalu dimulailah kongres organisasi kepanduan di Indonesia tanggal 27 - 29 Desember 1945, maksudnya sih ingin menyatukan organisasi pandu yang ada. Bhineka Tunggal Ika kalo bahasa gaulnya itu. Akhirnya terbentuklah Pandu Rakyat Indonesia. Horeee!!!
Tapi ternyata hore-nya tidak bisa lama-lama. Belanda datang lagi di tahun 1948 dengan agresinya yang ke 2. Sewaktu Presiden, wakil presiden dan pemimpin lain ditangkap, Jendral Besar Soedirman tetap ngeyel tidak mau menyerah dan tetap melakukan gerilya meski sedang sakit. Tanggal 29 Juni 1948, Belanda yang bosen tinggal di Yogyakarta memutuskan keluar. Masuklah tentara kita yang gagah berani dan peristiwa itu dikenang sebagai Yogya Kembali.
Jendral Besar Soedirman yang terus-terusan sakit, akhirnya dirawat di RS. Magelang. Pada saat itu beliau mengamanatkan kepada Mawardi selaku Wakil Muhammadiyah agar Kepanduan Hizbul Wathan yang merupakan tempat pendidikan untuk CINTA TANAH AIR didirikan lagi. Selanjutnya dengan semangat "apa sih yang gak buat kamu!" Amanat itu dilaksanakan pada sore hari tanggal 29 Januari 1950. Haiban Hadjid memimpin apel HW sekaligus untuk meresmikan berdirinya kembali kepanduan Hizbul Wathan, dan pada malam harinya Jenderal Besar Soedirman wafat.
Kemudian tanggal 9 Maret 1961, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer: 238/ 61, Kepanduan Hizbul Wathan dan kepanduan lainnya dilebur ke dalam Pramuka. Waktu terus berjalan, terjadi pemberontakan sana-sini, bunuh-bunuhan, pergantian kekuasaan, pembangunan, penculikan, krisis, reformasi dan akhirnya sampailah di bulan November 1999. Kepanduan Hizbul Wathan dibangkitkan kembali oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Melihat perjalanan Pandu HW yang panjang, jelas sekali saya punya hak untuk merasa kagum dan hormat, tidak hanya kepada Pandu HW sendiri, tapi juga kepada para senior-senior HW. Mereka pastilah kenyang merasakan pahit getirnya memperjuangkan HW pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Karena itulah semangat dan kedisiplinanya beda dengan kita yang muda-muda. Yang ketika lahir tidak lagi disambut peluru dan bom, tapi tawa riang dan puji syukur oleh keluarga. Maka bagi saya, para senior Pandu Hizbul Wathan adalah Laskar Pelangi yang sesungguhnya. Karena memberikan warna dalam perjalanan kemerdekaan Negara Indonesia ini. Semoga, jejak mereka ditiru oleh generasi-generasi setelahnya. Kita bisa sepakat bahwa kesetiaan, kecintaan dan pengorbanan tanpa pamrih demi tanah air Indonesia adalah nilai-nilai yang patut diteladani bukan?
klik disini untuk informasi lebih detail mengenai sejarah Hizbul Wathan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H