Beberapa waktu lalu, saya dan istri sempat berdiskusi sengit tentang pendidikan anak kami. Karena saya dibesarkan dilingkungan yang religius, tentu saja saya berharap dia bisa masuk pesantren. Istri saya sebaliknya, dibesarkan dilingkungan seni tradisi dan banyak bergaul dengan seniman-seniwati. Tentu saja mengharap anak kami bisa ikut les menari, musik, lukis dsb. Saya sih oke-oke saja, asal SMP dan SMA nya di pesantren.
"Pokoknya gak mau kalo anak laki-laki kita harus masuk pesantren!" kata istri saya berapi-api.
"Lha kenapa dek? Bukanya pesantren itu bagus, selain pendidikan agama dapat, pendidikan umum juga dapat. Sekali dayung dua pulau terlampaui, praktis kan!?" Terang saya.
"Aku pengen bisa ngerasain dan melihat sendiri perjalanan anak kita dewasa, bisa disampingnya kalau ada apa-apa," jawab istri saya yang mulai manyun.
"Kalo cuma ingin ngrasain pertumbuhanya aja kan cukup sampai SD, SMP dan SMA nya biar dia mandiri, masak anak laki-laki mau dimanjain terus," tukas saya penuh heran.
"Masak tega sih mas, jauh dari anak kita," jawab istri dengan mata yang berkaca-kaca. Wuah, kalo dah urusan mengharu biru seperti ini, istri saya itu pinter banget. Â Kalau ada produser sinetron liat, mungkin saja dia langsung ditawari peran khusus adegan melankolis. Huff...!!!
Oke, mengesampingkan dulu adegan sinetron diatas. Keinginan untuk memasukkan anak saya ke pesantren bukan hanya karena masalah latar belakang keluarga atau pendidikan saya saja sebenarnya. Melihat kondisi pendidikan di Indonesia yang buat saya pribadi kurang cocok dengan sistemnya (terlalu condong ke masalah nilai dan kurang mengapresiasi terhadap minat anak) belum lagi masalah pergaulan dengan teman sebaya, isu narkoba, kekerasan, seks bebas yang makin marak (dengar-dengar, banyak kejadian pemerkosaan gara-gara liat video mesum akhir-akhir ini) haduh, gimana gak was-was dan pusing coba!?
"Ya kan bisa ikut TPA atau pengajian-pengajian dekat rumah aja mas," tambah istri saya merajuk.
Kita sebagai orang tua kan kadang hanya bisa memantau dari dekat, sebatas di rumah atau lingkungan sekitar. Waktu dia sekolah atau bermain, jelas kita tidak bisa mengawasi. Sudah takut duluan membayangkan anak saya umbar burung sana-sini. Hah..!! bukanya saya gak percaya sama anak, tapi kan apapun bisa terjadi, lebih baik sedia payung sebelum hujan.
"Ya pokoknya gak mau jauh dari anak," berkata sambil meremas-remas bantal kesayanganya. Saya cukup yakin istri saya ini bisa menang FFI nominasi peran wanita terbaik untuk adegan ini.