Sedari dulu saya penasaran dengan museum Konferensi Asia-Afrika (KAA). Sebagai generasi jadul yang  mendapat mata pelajaran sejarah di bangku sekolah, tentu ingat tentang Konferensi Asia-Afrika. Sayangnya berkali-kali ke Bandung belum pernah kesampaian mengunjungi museum ini.
Akhirnya, waktu libur Imlek kemarin (10-11/3) saya membulatkan tekad untuk mengunjunginya. Anak-anak ikut antusias. Karenanya, sengaja kami menginap di hotel yang dekat dengan museum.
Hotel Savoy Homann dan KAA
Setelah mencari-cari hotel, pilihan saya jatuh ke hotel Savoy Homann yang sangat dekat dengan museum KAA.
"Bisa jalan kaki nih, " pikir saya. Ternyata benar. Lokasi museum hanya sepelemparan batu dari hotel.Â
Nah, senangnya lagi ternyata hotel Savoy Homann pun punya sejarah karena ikut ambil bagian dalam KAA. Ada beberapa tamu penting KAA yang menginap disini.
Di lobi hotel terdapat piano besar yang pernah dimainkan oleh Charlie Chaplin. Bahkan Chaplin menari di atas piano ini.
Ada juga golden book, yaitu buku tamu yang berisi tanda tangan pemimpin negara dan atau delegasi negara peserta KAA. Meskipun telah menguning dan warna tinta menipis, tapi masih bisa terbaca loh.
Selain golden book, ada juga etalase memorabilia yang berisi satu set peralatan jamuan makan malam saat KAA. Hmmm.. ternyata peralatan makannya pun sangat mewah.
Berkeliing hotel yang "berbau" KAA membuat kami lebih antusias dan penasaran seperti apa museum KAA yang akan kami kunjungi di hari Minggu keesokan harinya.
Saya sendiri bertanya-tanya seperti apa negara kita pada tahun 1955 menjadi tuan rumah sebuah konferensi tingkat internasional. Tahun 1955 itu bahkan bapak saya belum lahir loh. Hehehe
Museum Konferensi Asia-Afrika
Sebagai "tour leader" keluarga sendiri, pagi-pagi saya membangunkan anak-anak dan papanya. Targetnya jam 7.00 pagi kami sudah mandi dan bersiap sarapan. Ternyata tidak susah, asal kita ngomel mengkomunikasikan agenda hari ini pada malam sebelumnya.
Tepat jam 7.00 pagi kami sudah wangi dan bersiap sarapan. Saat sarapan inilah, ada staf hotel yang sangat ramah menjelaskan mengenai sejarah hotel. Beliau sudah berpuluh tahun bekerja di hotel ini. Banyak cerita yang kami dapat tentang hotel yang dirancang oleh arsitek A.F Aalbers ini.
Selesai sarapan, kami berkeliling hotel sebentar untuk melihat-lihat kembali golden book, memorial, dan lukisan atau foto yang ada di koridor.
Museum KAA buka pukul 09.00. Karenanya, masih ada waktu dan kami tak perlu buru-buru menuju kesana. Bersyukur sekali Bandung hari itu sangat cerah dengan langit birunya.
Memanfaatkan waktu yang ada, kami berfoto di depan hotel, lampu merah perempatan jalan Asia-Afrika, Gedung Merdeka, lalu mampir minum kopi sebentar di kedai kopi di seberang museum. Ternyata jalan Asia-Afrika pada Minggu pagi sangat asyik untuk dinikmati.
Tepat pukul 09.00 kami bergegas ke museum KAA. Di depan museum sudah berdiri sekuriti dan satu rombongan kecil pengunjung. Ya, kami terhitung pengunjung yang rajin karena datan begitu museum buka. Hehehe
Sesuai petunjuk sekuriti, kami cukup memindai barcode yang ada untuk registrasi kunjungan. Ternyata gratis!
Tour de MuseumÂ
Memasuki museum, kesan awal yang saya rasakan memang bangunan tua khas kolonial Belanda. Tua tapi rapi dan terawat loh. Keren, bukan?
Anak-anak langsung senang melihat bola dunia besar di bagian depan. Di seberangnya tampak berjejer bendera warna-warni dan patung presiden Soekarno.
"Itu presiden pertama Indonesia, Mama!" teriak si Bungsu. Hmmm ternyata dia mengenali patung yang ada sebagai presiden Soekarno.
Anak-anak makin antusias. Tak lama kemudian diumumkan bahwa bagi pengunjung yang ingin ikut tour dari museum bisa berkumpul di depan. Wah, ternyata ada pemandu dari museum. Kami pun ikut bergabung.
Tour de museum ini sangat menyenangkan. Ibu pemandu dengan runtut menjelaskan sejarah, latar belakang, negara sponsor, inisiator, proses konferensi, Dasa Sila Bandung, hingga dampak KAA dalam huhungan internasional negara-negara di kawasan Asia-Afrika.
Sambil mendengarkan penjelasan beliau, kami membayangkan bagaimana konferensi tersebut berjalan di tahun 1955. Proses dokumentasi misalnya, disana dipamerkan kamera, lampu, mesin ketik yang dipakai untuk mendokumentasikan konferensi.
Ruang pamer museum sangat bagus. Semua informasi lengkap dan tertata apik. Ibu pemandu ditemani dua orang mahasiswi magang. Keduanya dari jurusan hubungan internasional. Sebenarnya boleh bertanya kepada mereka, sayangnya dua mahasiswi tersebut tampak malu-malu.
Ohya, berbeda dari museum lain yang biasanya dikelola oleh kementerian pendidikan kebudayaan, riset, dan teknologi, museum KAA dikelola oleh kementerian luar negeri. Hmm... pantas saja penjelasan mereka komprehensif sekali terkait dengan hubungan luar negeri.
Selesai berkeliling area museum, kami diajak ke ruang konferensi. Disini peserta sangat antusias untuk berfoto di depan ruang konferensi. Memang keren sih!
Saya mencoba untuk duduk di kursi berwarna merah. Ternyata masih bagus dan terawat. Konon kursi ini adalah kursi asli yang diduduki oleh delegasi negara-negara KAA.
Lalu perhatian kami tertuju di balkon di bagian belakang ruangan. Menurut informasi dari pemandu, balkon ini digunakan oleh para jurnalis dan fotografer baik dari dalam maupun luar negeri yang meliput konferensi.
Setelah puas mengambil beberapa foto untuk dokumentasi pribadi, maka kami mengucapkan terimakasih kepada ibu pemandu tour de museum KAA. Selesai sudah kunjungan kami di museum KAA. Saya pun sudah tidak penasaran lagi. Hehehe
Berhubung masih belum terlalu siang, dari museum KAA kami memutuskan untuk menyusuri kembali jalan Braga. Setelah itu, baru ke Katedral St. Petrus Bandung untuk mengikuti misa Minggu Siang. Sungguh hari itu adalah Minggu istimewa yang menoreh kenangan manis kami di kota Bandung.
---RR---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H