Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meresapi Falsafah Jawa "Wang-Sinawang"

21 Februari 2022   06:30 Diperbarui: 21 Februari 2022   06:35 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari saya mengobrol dengan seorang teman lama. Seseorang yang pintar dan sukses meraih cita-citanya seperti yang diimpikan sejak dulu.

Kakak-kakaknya juga berhasil. Setidaknya saya tahu langsung karena salah satunya menjadi tamu pembicara di acara webinar yang saya ikuti. Sebagai teman tentu saja saya ikut senang.

"Keren euy, semua bersaudara jadi orang sukses!" puji saya tulus.

Lalu dengan merendah, dia membalas bahwa semua karena anugerah Tuhan.

"Setiap keluarga punya "salib"nya sendiri-sendiri, Rin!" lanjutnya.

Kemudian saya jadi merenung. "Iya juga ya? Adakah keluarga yang sempurna tanpa cela sedikit pun sebagai manusia?" Rasanya satu diantara sejuta.

Falsafah "Wang-Sinawang"

Orang Jawa pasti tahu falsafah ini. Minimal pasti sudah pernah mendengarnya. Kalau saya hafal diluar kepala karena orangtua saya selalu berulang mengatakan ini saat mengobrol dengan orang (hingga saya bosan).

"Wang-sinawang" sebenarnya versi singkat dari "sawang-sinawang". Dalam bahasa Jawa, artinya saling memandang dan dipandang atau saling melihat dan yang terlihat.

Jika dikaji lebih jauh sebenarnya falsafah ini sekaligus sebagai petuah hidup. Bahwasanya ketika kita memandang orang lain kemudian membandingkan, yang terjadi belum tentu seperti apa yang terpandang atau terlihat oleh kita. Akan ada sesuatu yang mungkin luput dan tak terlihat oleh kita.

Bijak Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Adalah hal yang manusiawi ketika seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. Seperti pepatah "rumput tetangga lebih hijau", falsafah "wang-sinawang" ini juga memiliki arti serupa.

Keduanya mengajak kita untuk merenung bahwa jika kita terus melihat dan membandingkan dengan orang lain, maka bisa jadi kita jatuh pada rasa minder dan tak percaya diri. Atau akibat yang lebih buruk, kita bisa terjebak pada rasa iri hati dan cemburu.

Rumput tetangga memang terlihat lebih hijau, namun jika kita lihat lebih dekat tak menutup kemungkinan ada yang menguning, mati, atau bahkan tak rata.

Apakah itu artinya kita tak boleh membandingkan diri dengan orang lain? Bukankah bisa juga untuk menjadi penyemangat? Dia punya ini, masa aku tidak bisa?

Hmmm... sebenarnya sah-sah saja asalkan kita bijak dan mampu menempatkan diri secara benar. Jika tidak, bisa jadi semangat dan motivasi untuk meraih sesuatu itu lebih kepada persaingan. Ibarat mobil, "bensin" yang kita gunakan itu kurang tepat.

Bukankah lebih baik kita termotivasi disertai rasa syukur dibandingkan dengan keinginan untuk bersaing dan menjadi lebih? Falsafah wang-sinawang sekaligus mengajarkan kita untuk selalu bersyukur.

Tak Ada Keluarga yang Sempurna

Seringkali dalam pertemuan keluarga besar, ada orang-orang yang hobi sekali memuji-muji tetapi berlebihan. Anaknya sekolah di luar negeri lah, menikah dapat orang kaya, punya gaji segini, posisi begini, rumah di kompleks elit, acara adat di kampung yang menelan biaya milyaran, dan seterusnya.

Hmmm... kalau mendengar begitu, rasanya ingin kabur saja loh saya. Bagi saya, kok secara tidak langsung seolah ingin mengatakan "kamu bukan siapa-siapa". Tapi dalam etika bergaul, tidak mungkin kita pergi begitu saja.

Setelah "terlatih" hal semacam itu, saya biasa mendengarkan masuk kuping kanan lalu keluar kuping kiri. Beres.

Setelah itu saya belajar meresapi falsafah Jawa "wang-sinawang". Untuk apa kita menjadi "panas" dan tidak damai sejahtera hanya karena omongan orang yang pamer. Bukankah semua itu wang-sinawang? Belum tentu dengan segala pencapaian, seseorang lalu bahagia sepenuhnya dan menjadi sempurna tanpa konflik.

Toh bisa jadi yang terlihat sangat "wow", tapi apa iya dia bebas dari masalah, tekanan hidup, atau beban hidup? Bisa jadi punya masalah dengan kesehatan atau mungkin juga rumah tangga. Mungkin saja, kan? Saya percaya sepanjang manusia hidup di dunia ini pasti punya masalah, baik masalah besar atau masalah kecil.

Berangkat dari hal tersebut, akhirnya saya santai saja. Mau orang nyinyir saya ibu rumah tangga yang tidak bantu suami cari uang, sarjana tapi ujung-ujungnya di dapur, atau tidak ini dan itu... Hmmm... Sudahlah. I'm worthy enough! Saya tetap merasa berharga dan bahagia dengan apa yang ada. Wong hidup itu wang-sinawang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun