Saya maju saja untuk mengukur tekanan darah dan menunjukkan formulir skrining. Si bungsu sudah mulai rewel dan mengamuk. Bahkan saya tidak boleh ditensi.Â
Untungnya petugas mengerti sekali. "Mamanya dipinjam sebentar ya?" Lalu si Bungsu digendong papanya menjauh. Tentu dia tetap menangis dan meraung.
Dan taraaa.. Â tensi saya di angka 129! Biasanya cukup 110. Ya, saya panik dan stres dengan tingkah si bungsu yang makin keras menangis. Segala bujuk-rayu papanya tidak mempan.
Buru-buru saya pindah ke meja penyuntikan vaksin. Pokoknya saya harus vaksin dan selesai. Dan ternyata cepat! Saya abaikan si bungsu yang sedang ditenangkan papanya dengan susah payah. Ya dia mengamuk parah!
Selesai divaksin, saya berlari dan menggendong si bungsu yang masih menangis. Duh! "drama" yang sudah saya prediksi bakal seperti ini.
Setelah saya gendong, saya ajak ke mobil. Si bungsu masih saja meraung. "Mama nggak boleh divaksin!" Hmmm... sabar... sabar... Saya bujuk dan rayu bahwa semua sudah selesai, tapi si Bungsu terus saja meraung.
Saya ajak ke mobil. Baru saja membuka pintu dan naik mobil, si Bungsu yang masih menangis dan tiba-tiba muntah banyak! Uhhh... muntahan membasahi baju dan celananya. Juga kursi mobil. Duh... Sabarrr...
Saya bersihkan muntahannya yang banyak itu. Bau susu menyengat. Namun si Bungsu terlihat lebih tenang. Mungkin sudah mulai turun emosinya.
Selang 15 menit suami saya selesai vaksin. Saya sudah duduk tenang di mobil bersama anak-anak, membuka ponsel hehehe Suami datang seperti tergopoh.
"Enak banget ya, bisa main handphone? Aku tobat waktu dia ngamuk tadi, " kata suami. Ya, bapack-bapack memang tidak bakat menjadi "pawang".
"Hmmm... belum tahu, dia tadi muntah banyak di kursi belakang! Ini baru aja selesai bersihin. Enak dari mana?" sahut saya. Si Bungsu senyum-senyum.