Yang bermasalah adalah pelaku selingkuh dan bukan korban yang diselingkuhi. Ada seribu macam kesalahan manusia kalau memang dicari. No body is perfect!
Sama halnya ketika terjadi perselingkuhan di sekitar pertemanan atau keluarga kita. Biasanya saling memihak dan menyalahkan pihak lain (bisa istri atau suami). Mirisnya, justru pihak yang diselingkuhi yang disalahkan. Teganya... teganya...Â
Apa faedahnya menyalahkan salah satu pihak terutama yang jelas-jelas tersakiti? Bukankah malah menambah beban duka? Wong tanpa kita berkomentar, mereka sudah menyalahkan dirinya sendiri dan terpuruk atas kegagalannya kok.
Hal ini terjadi di dunia nyata. Suatu kali saya mendengar cerita dari kenalan. Saudaranya berpisah dengan istrinya. Yang saya dengar karena istrinya ini dan itu. Ada yang mengatakan tidak taat, tidak suka kumpul-kumpul, pelit, dan seribu satu alasan lainnya.Â
Namun setelah lama, baru saya tahu yang sebenarnya. Ternyata pihak laki yang selingkuh dengan daun muda hingga hamil. Duh, sedihnya!Â
Bukankah yang jahat itu lakinya? Bijak kah membela laki-laki itu dan mempersalahkan istri? Dia begini, begitu, beginu padahal dia sedikit-banyak adalah "korban" dalam hal ini.
Apalagi mendengar cerita langsung dari istri tersebut. "Lebih baik saya gagal jadi istri daripada gagal jadi ibu" katanya. Dan berpuluh-puluh tahun, perempuan ini tetap sendiri membesarkan anaknya.
Jadi, apakah selingkuh perlu alasan? Ya mungkin ada alasan untuk pembenaran. Tapi bukankah selingkuh ya selingkuh saja? Selingkuh itu tak perlu alasan, apalagi karena pasangan.
Jika kita adalah orang luar, bukankah lebih baik untuk menahan komentar? Tak perlu sok tahu alasan orang selingkuh. Terlebih menyalahkan pihak yang diselingkuhi. Bukankah begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H