Memang selain mual dan tidak enak badan, sebelumnya saya sering gelisah. Mungkin karena tak nyaman dengan kondisi nyeri perut.
Minggu subuh terulang lagi, sakit nyeri yang lumayan. Kali itu seluruh perut. Agak lama kemudian menghilang. Akhirnya saya banyak santai dan tiduran di hari Minggu.
Sebenarnya saya ingin tak mempedulikan sakit ini. Tapi hari Senin masih terasa sakit meskipun tak se-intens sebelumnya. Saya kembali ke rumah sakit untuk USG abdomen.
Saya menyetir mobil sendiri. Hmmm... di jalan perut seperti disuduk apalagi jika melewati polisi tidur. "Wah, alamat ini benar appendisitis..." batin saya galau.
Singkat cerita, hasil USG menunjukkan organ lain normal dan appendiks yang bermasalah. Tapi belum terjadi pembengkakan. Tetapi tetap mengarah appendisitis kronis.
Duh, mendengar penjelasan dokter saya tak mampu berpikir. Apalagi dirujuk untuk konsul ke dokter bedah. Saya pulang dulu siang itu, baru sore kembali untuk konsul ditemani suami.
Sorenya, dokter bedah memeriksa dan hasil tetap sama. Kali ini harus apppendicogram untuk lebih memastikan.
Untuk keperluan appendicogram, malam-malam saya harus minum larutan kontras (serbuk barium sulfat yang dilarutkan dengan air minum). Suami saya yang membantu membuatkan. Beuhhh... itu larutan rasanya kayak minum cat! Tolong... rasanya aneh.
Saya ingin mundur setelah mencicipnya. "Nggak usah saja appendicogramnya ya?" kata saya ke suami. Eh, dia bilang tetap harus minum. "Jalani saja sampai semua beres!" Hmmm... dalam hati, "Ngomong memang enak, " Hiks.
Paginya sewaktu bangun tidur, suami mengingatkan, "Puasa dulu. Nggak boleh BAB ya, nanti nggak kebaca!" Aduh, Gusti... ini perut biasa BAB pagi dan sudah mulas sekali! Rasanya BAB sudah di ujung, kok tidak boleh? Tolongggg....
Lagi-lagi saya nego, "Sudah nggak usah cek aja lah. Orang mau BAB kok nggak boleh. Gimana nahannya?" Ampun, ngomong memang enak ya. Tapi suami tetap bilang untuk coba dulu. Bayangkan, 15 menit saya harus "menghalau" BAB yang tak boleh keluar! Hiks