Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Bahkan data terakhir yang saya baca, jumlah penderita DM di Indonesia menempati peringkat ketujuh dunia.
Penyakit DM pun bukan penyakit yang asing bagi saya dan keluarga. Almarhum nenek saya dari pihak ibu adalah penderita DM. Begitu juga dengan ibu saya. Ibu saya menderita DM sejak tahun 2005.
Baik almarhum nenek atau ibu saya, keduanya mengidap DM tipe 2 di mana banyak orang awam mengatakan DM "basah".Â
Dalam artian, kadar gula dalam darah yang tinggi menyebabkan keduanya seringkali mengalami luka yang susah sembuh hingga timbul gangren.
Saudara ibu juga beberapa menderita DM. Boleh dikatakan saya berada pada keluarga dengan risiko tinggi untuk DM.
Sekilas tentang Diabetes MelitusÂ
Penyakit DM dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Perbedaan ini terletak pada rentang waktu dan kemunculan gejala.
DM tipe 1 biasanya muncul di usia anak dan remaja dan lebih dipengaruhi faktor genetika. Namun untuk DM tipe 2 lebih banyak muncul di usia dewasa dan lansia. DM tipe 2 lebih banyak disebabkan oleh pola makan dan gaya hidup, juga faktor usia.
Almarhum nenek dan ibu saya diketahui menderita DM pada usia lebih dari 40 tahun. Awalnya tak ada gejala yang terlihat, namun timbul luka bisul yang tidak bisa sembuh dengan salep biasa.
Luka bisul pada ibu saya dalam waktu singkat berkembang menjadi gangren yang sangat parah. Dari sinilah, dilakukan pemeriksaan dan ternyata kadar gula ibu saya sudah di angka 400.
insulin.Â
Sejak saat itu ibu "resmi" menjadi penderita DM yang harus selalu minum obat atau suntikSelama kurang-lebih enam belas tahun sebagai penderita DM, ibu saya banyak mengalami up and down.
Sebagai anak, saya menjadi banyak belajar dan paham dengan kondisi DM. Tak terhitung berapa kali ibu rawat inap, berapa kali operasi gangren, berapa kali saya ikut stres dengan keadaan ibu saya, dan sekarang sudah pada neuropati DM.
Namun, saya sebenarnya sudah mengantisipasi sejak muda. Di usia 24 tahun, saya mendapat saran dari kenalan dokter.Â
Intinya karena saya punya faktor risiko lebih, maka harus memulai kebiasaan makan yang baik. Hal ini bertujuan supaya pankreas saya tidak terforsir sejak muda.
Tapi ya bagaimanapun saya waktu itu masih muda, saya hanya sebatas mengurangi porsi nasi dan tetap saja minum yang manis-manis. Apalagi jika makan di restoran, selalu pesan es teh manis atau aneka jus buah yang pastinya ditambah dengan gula. Saya benar-benar mengurangi bahkan tidak minum manis kurang lebih lima tahun yang lalu.
Risiko karena faktor keturunan atau keluarga
Dari riwayat keluarga saya, sebenarnya semua adalah DM tipe 2 yang tidak diturunkan. Akan tetapi, selalu ada faktor risiko dalam keluarga, bisa jadi karena pola makan keluarga.
Dugaan saya, bisa jadi karena kami keluarga Jawa yang lebih menyukai makanan manis. Entah secara langsung atau tidak, ada kemungkinan pola makan ini mempengaruhi pankreas yang harus bekerja keras menghasilkan insulin. Karenanya, pada umur tertentu kerja pankreas tak lagi prima (karena sudah capek?)
Beberapa kali tes kesehatan, kadar gula darah saya selalu normal. Bagi saya, hasil tes kadar gula darah sangat penting karena saya mempunyai risiko.
Lewat artikel ini, saya ingin berbagi cara saya mencegah DM Â karena ada risiko keturunan keluarga:
1. Batasi konsumsi gula
Setelah mengetahui ibu saya mengidap DM, saya berusaha untuk membatasi konsumsi gula. Misalnya mengurangi porsi nasi putih.
Namun, gula sederhana tidak hanya terdapat dalam nasi putih. Makanan dan minuman lain banyak yang berkadar gula tinggi. Biasanya sebagai acuan adalah indeks glikemik.
Gula sederhana banyak bersembunyi dalam kue-kue dan minuman kemasan. Â Karenanya, jika mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut lebih baik dibatasi.
Cara sederhana membatasi konsumsi gula adalah ganti minuman berasa dengan air putih, kurangi porsi nasi, batasi roti putih dan mie, dan hindari kue-kue.
Dalam keseharian, saya tak pernah menambahkan gula pasir pada masakan saya. Pun penggunaan penyedap atau kaldu jamur yang mengandung MSG juga saya hindari.
2. Hindari obesitas
Orang yang memiliki obesitas lebih rentan terkena DM. Dulu sebelum sakit, ibu saya gemuk dan terlihat segar. Tak disangka, ternyata di balik tubuh yang gemuk ada bahaya mengancam.
Saya sendiri setelah punya anak kedua mengalami berat badan berlebih. Ini adalah PR saya. Meskipun bukan obesitas tapi saya tetap harus waspada. Sekarang saya sedang berproses untuk diet pola makan sehat dan sesekali puasa.
3. Cek kesehatan secara berkala
Bagian ini paling sering dilewatkan banyak orang. Saya sendiri dulu juga malas untuk cek kesehatan rutin karena merasa sehat dan tidak ada keluhan.
Sebagai ibu rumah tangga, tak ada kewajiban cek kesehatan rutin setiap tahun seperti karyawan kantor. Karenanya, dengan kesadaran sendiri secara berkala saya cek kadar gula darah puasa dan sewaktu.
Hal ini penting, jika memang kadar gula darah kita terdeteksi tinggi maka segera ambil langkah untuk mengatasi.Â
Jangan sampai seperti ibu saya, begitu ketahuan langsung di angka 400 dengan luka gangren besar di punggung yang harus dioperasi. Operasi tersebut sangat berisiko, membutuhkan pemulihan yang lama, dan biaya yang tak sedikit.
4. Perbanyak gerak dan olahraga
Kebiasaan orang masa kini adalah mager atau malas gerak. Beberapa orang melakukan olahraga hanya bertujuan untuk membentuk otot atau ingin langsing.
Padahal gerak dan olahraga memberi manfaat lebih dari itu. Dengan gerak dan olahraga, maka metabolisme seseorang akan meningkat dan pembakaran lemak lebih optimal. Oleh karena itu, dalam sehari saya berusaha olahraga sesuai kemampuan saya.
5. Manajemen stres
Banyak orang tidak tahu bahwa stres bisa menyebabkan DM. Pada saat stres, tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol.Â
Hormon ini akan membuat cepat detak jantung dan pernafasan. Karenanya, tubuh akan mengubah glikogen yang ada di hati menjadi gluskosa. Ini akan mengakibatkan kenaikan kadar gula darah.
Dengan demikian, bagi saya yang punya risiko DM lebih baik menata diri dan hati untuk menikmati hidup dan tidak stres. Hindari overthinking dan kecemasan berlebih.
Saya juga banyak belajar untuk merasa "cukup" dan tak harus menjadi sempurna. Namun tetap belajar dan bertumbuh untuk menjadi versi terbaik diri saya dan memilih untuk bahagia. Bukankah hati yang gembira adalah obat dan juga semangat?
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam sehat dan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H