"Jaman dulu, praktek korupsi dan manipulasi data dan keuangan itu biasa, Her!" kata pak Satyo. "Tapi bang Roy tak pernah mau kompromi. Dia baik, lembut, dan lurus. Sayangnya, tak semua orang menyukai jalan lurus!" lanjut pak Satyo.
"Iya, Pak..."
"Dengan posisi bang Roy, sebenarnya bisa saja memperkaya diri. Mungkin kalau mau, sudah jadi orang kaya berlimpah-limpah hingga keturunannya, " pak Satyo berhenti bicara.
Matanya berkaca-kaca. Diulurkan tangannya untuk mengambil air putih di meja sampingnya. Dengan gegas, Heri meraih botol air minum dan memberikan pada mertuanya.
Setelah meneguk air putih, pak Satyo melanjutkan ceritanya. "Bang Roy baik sama siapapun, Her. Tapi ternyata di dunia ini ada air susu yang dibalas air tuba! "Tikus-tikus" kelaparan. Tikus yang sudah biasa menggerogoti keuangan negara. Semua orang menjadi tidak suka dengan kejujuran bang Roy, "
"Bang Roy dibunuh, Her... Tiba-tiba ada kabar bang Roy kecelakaan dan meninggal di tempat, " kata pak Satyo. Heri. Heri terkejut.
"Jadi..."
"Iya, suatu pagi yang berkabut datang mobil ambulans ke rumah. Raungannya membelah kampung. Bang Roy sudah tak bernyawa dengan luka yang sulit kugambarkan, "
Mata pak Satyo menerawang ke depan. "Aku sudah kenal dekat dengan ibu Seika, Her... Aku tahu bagaimana rasanya Marty melihat abangnya, "
Pak Satyo berusaha tegar. Setelah itu diceritakan tentang keluarga ibu Seika. Pasca kematian bang Roy, semua keluarga rapuh dan hilang semangat. Duka yang teramat dalam menghancurkan semuanya.
Hari-hari yang berat ditinggal sepeninggal bang Roy terlalu mengiris jiwa. Kebanggaan keluarga itu pergi dengan tragis. Ada rasa bersalah yang merongrong nurani.