Suatu hari di bulan Agustus 2019 (sebelum pandemi), Mia (nama samaran) membuatkan paspor untuk anak bungsunya. Waktu itu umur anaknya baru 2 tahun lebih beberapa bulan.
"Nanti saja kalau sudah 5 tahun baru kita ajak jalan ke luar. Sekarang kayaknya belum bisa menikmati. Nanti kamu uring-uringan loh..." kata suami Mia berusaha membujuk dengan halus.
Mia tahu suami tak mempermasalahkan dana. Suaminya juga sangat tahu jika Mia bukan tipe orang yang jalan-jalan untuk sekadar gengsi. Mia pun tahu sebenarnya traveling ke luar negeri membawa batita itu melelahkan. Namun pada akhirnya suaminya mengalah dengan keras kepala Mia, ibu dari dua orang anak itu.
"Ya sudah. Yuk kita bikin. Yang penting sudah punya, nanti tinggal atur kapan mau jalan," kata suaminya. Setelah itu mereka mengurus pembuatan paspor anak bungsunya sekalian paspor mereka yang akan habis masa berlaku.
Apakah akhirnya Mia dan anak-anaknya jalan-jalan dengan paspor itu? Tidak. Mereka tidak sempat menggunakan paspor itu dan pandemi menghantam di awal tahun 2020.
Cerita paspor inilah yang kemudian mengajak Mia untuk berefleksi sejenak. Bukan tentang pandemi atau jalan-jalan. Akan tetapi, tentang sesuatu yang selama ini tidak Mia sadari. Betapa keras kepalanya Mia untuk berusaha tidak membedakan antara anak pertama dan keduanya, bahkan hanya untuk hal receh sekalipun.
Sebenarnya Mia tahu dan paham bahwa mengajak jalan-jalan anak umur 2 tahunan itu susah-susah gampang. Namun sewaktu anak sulung berumur kurang lebih 3 tahun, Mia dan suaminya membawanya ke negeri Singa. Karenanya, Mia juga ingin di umur 3 tahun si anak bungsu juga bisa dibawa kesana. Intinya, Mia ini berusaha untuk berlaku "sama" untuk kedua anaknya.
Mengapa Mia bersikukuh seperti itu? Mengapa Mia tidak "santai" menyikapi hal-hal kecil seperti itu?
Suatu hari Mia mengakui bahwa semua itu dilakukannya karena Mia sangat tahu rasanya diperlakukan berbeda oleh orangtua.
Mia ingin memperlakukan kedua anaknya tanpa pembedaan. Ya, Mia adalah si "anak tengah" yang dulu merasa diabaikan, dibedakan, dan tak diperhatikan oleh orangtuanya.
Ambisi untuk Tidak Membedakan Anak