Jika artikel sebelumnya, saya menceritakan isi hati si "anak tengah", kini cerita berbalik ketika si anak tengah menjadi orangtua. Cerita Mia di atas adalah contoh ketika anak tengah menjadi orangtua. Tentu tak semua anak tengah akan seperti Mia juga.
Baca juga : Menengok Isi Hati Si "Anak Tengah" (klik disini)
Cerita Mia adalah rekaan semata karena sejatinya itu adalah cerita saya sendiri. Sayalah Mia tersebut. Saya menyadari cara saya memperlakukan anak-anak saya sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis saya sebagai anak tengah.
Saya harus mengakui bahwa sindrom anak tengah itu ada dan terbawa hingga dewasa. Pun saat menjadi orangtua. Sebenarnya bukan sesuatu yang negatif. Hanya saja jika seseorang tidak menyadari, tentu akan menimbulkan masalah dan menjadi berlebihan seperti Mia.
Seperti Mia, saya berusaha mati-matian untuk tidak membedakan kedua anak saya. Sayangnya, seringkali kebablasan dan menjadi ambisi buta.
Misalnya, untuk urusan melahirkan pun harus sama. Si sulung lahir di RS dengan kamar VIP, saya pun ingin si bungsu dengan kamar VIP. Semua tidak ada masalah, kami bisa memesan juga untuk si bungsu.
Lalu apa masalahnya? Ya, saya kecewa bahkan hanya soal tipe ranjang tempat tidur. Si bungsu memang VIP tapi tempat tidur saya adalah tipe lama. Saya tanya ke suster mengapa dikasih ranjang tidur tipe lama, katanya stok tidak ada. Hanya karena receh begitu, saya kecewa. Semua karena saya ingin sama!
Menurut saya, ini bukan masalah saya yang ribet. Tapi saat itu saya sedang berusaha sekuat tenaga untuk memperlakukan "sama" untuk si sulung dan si bungsu saya. Bayangkan, saya berusaha bahkan untuk hal kecil seperti tipe bed rumah sakit, salon rambut, merk baju, sekolah, dan seterusnya.
Untuk si sulung pun juga sama. Supaya dia tidak merasa tak lagi diperhatikan, saya berusaha tak mengubah apapun saat hamil dan ketika adiknya lahir. Saya masih menyetir hingga sebelum melahirkan.