Awalnya memang kesal ketika melihat teman yang rangking 2 atau 3 dapat hadiah dari orangtuanya. Sementara saya yang jelas rangking 1 biasa saja.
"Memang harus rangking 1," begitu kata ibu saya dengan santai. Mungkin maksudnya baik, tetapi bagi anak sering dirasa tak ada penghargaan.
Atau saat lulus SMP dan ingin mencari sekolah SMA. Orangtua saya seolah tak peduli dan saya pun mencari sekolah sendiri. Padahal NEM saya waktu itu (kalau tidak salah) masuk 3 besar di SMP.
Bandingkan dengan saudara saya, semuanya diurus oleh orangtua dengan sibuk dan melibatkan banyak orang.
Saya paham mereka sibuk, tapi mengapa untuk saudara yang lain ada waktu? Belum lagi ini dan itu yang terlalu banyak jika diceritakan.
Dalam berproses tentu tidak mudah. Saya masih ingat kok, ketika saya kesal dan ingin "biasa" saja di sekolah, di situ saya berpikir begini, "Kalau nggak belajar dan nggak pinter yang rugi juga aku sendiri!"
Itulah yang membuat saya tak haus pujian. Saya melakukan sesuatu untuk diri saya, bukan untuk siapa-siapa. (Ini berubah ketika SMA, karena sudah menemukan jati diri, saya melakukan sesuatu dengan semangat seperti melakukan untuk Tuhan).
Dari sinilah, saya berpikir mengapa anak tengah lebih bertanggung jawab dan mandiri.
Orangtua Perlu Menyadari Keberadaan Si "Anak Tengah"
Anak tengah harus berupaya untuk mengolah ketidaknyamanan, bahkan hingga dewasa dan menikah sekalipun.