Anak tengah sering merasa terabaikan, kurang mendapat pujian, merasa sendiri, selalu dianggap bersalah, bahkan dianggap paling berulah dan memberontak. Inilah yang disebut sindrom anak tengah (middle-child syndrom).
Jika kita menengok curahan hati anak tengah di kolom-kolom komentar media sosial atau YouTube, pasti akan menemukan betapa sulitnya posisi anak tengah ini. Pergulatan batinnya sungguh berat. Ada yang merasa tertekan, merasa tidak adil, hingga depresi dan ingin mengakhiri hidupnya.
Sebagai awam yang mengamati, saya tidak tahu pasti kebenaran komentar tersebut dengan kenyataannya. Namun, saatnya bagi orangtua ataupun siapapun untuk menyadari bahwa sindrom anak tengah ini bukan mitos tapi memang ada.
Kesadaran Diri untuk Mengolah Hati
Di awal artikel ini, saya mengatakan bahwa saya anak tengah. Saya diapit kakak perempuan dan adik laki-laki.
Apakah saya juga mengalami sindrom anak tengah? Menurut saya itu sudah pasti.
Akan tetapi, jika saya baca artikel-artikel tentang anak tengah untuk sekadar berefleksi, sepertinya sindrom anak tengah ini akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
Misalnya, dari pengalaman saya. Saya sering merasa "sendiri", jarang dipuji orangtua, tidak terlalu diperhatikan sebesar saudara yang lain.
Semua itu tentu membentuk kepribadian saya yang cenderung introvert. Akan tetapi, saya tak sampai tertekan dan tidak bahagia.
Menurut saya, anak tengah justru unik saat menghadapi berbagai masalah. Kemampuan untuk bertahan dan menghadapi masalah bisa jadi lebih baik dari anak sulung atau anak bungsu. Apalagi jika mampu "mengolah" semua perasaan tidak nyaman itu menjadi sesuatu yang baik.
Saya tidak bermaksud memuji diri sendiri. Namun, dalam perjalanan hidup yang jarang dipuji justru menjadikan saya tidak "haus" akan pujian.