Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal "Father Hunger" Supaya Tak Terjadi pada Anak

21 Juli 2021   08:12 Diperbarui: 21 Juli 2021   13:49 3143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Father hunger adalah ketidakhadiran sosok ayah, baik secara fisik dan ataupun secara psikologi dalam kehidupan anak. Kondisi ini akan berpengaruh pada tumbuh-kembang anak, karakter, rasa percaya diri, dan cara anak berelasi ketika dewasa.

Pertama kali saya mendengar istilah "father hunger" atau "fatherless" adalah saat instagram live dari Parentalk. Instagram live ini menghadirkan psikolog Daniar Dhara Fainsya, M.Psi, Psikolog.

Dari sinilah, saya tahu dan menjadi paham istilah ini. Setelah mengikuti penjelasan tersebut saya langsung manggut-manggut. Maksudnya jadi mengerti dan paham bahwa hal ini bisa terjadi pada siapapun. Ada kemungkinan besar bapak saya dan almarhum bapak mertua saya pun mengalaminya.

Bapak saya adalah anak tunggal, sayangnya kedua orangtuanya berpisah secara tidak baik saat beliau masih kecil. Meskipun masih bisa bertemu, tapi bapak lebih banyak diasuh oleh keluarga ibunya (nenek saya). Jelas beliau tumbuh tanpa sosok ayah, apalagi bapaknya (kakek saya) memang tidak dekat dan berusaha dekat secara hati dengan kami.

Bagaimana dengan almarhum bapak mertua saya? Saya tidak sempat menemuinya. Namun, dari cerita suami beliau juga mirip nasibnya dengan bapak saya. Hanya saja ketidak-hadiran ayahnya disebabkan karena meninggal pada waktu perang. Almarhum juga anak tunggal, namun akhirnya punya saudara tiri beda ayah.

Di sini saya tak hendak menilai atau apapun itu. Hanya saja saat mengobrol dengan suami, kami sepakat  dan menyadari bahwa "father hunger" itu ada dan tentu sedikit-banyak berpengaruh dalam kehidupan seseorang, baik karakter dan sikap hidupnya.

Pengertian Father Hunger

Istilah "father hunger" ternyata sudah lama ada. Artinya istilah ini menjadi baru buat saya karena awam masalah psikologi.

Father hunger atau fatherless sendiri didefinisikan sebagai ketidakhadiran sosok ayah dalam kehidupan anak. Penyebabnya bisa berbagai hal, misalnya kematian, perceraian, pekerjaan, kecanduan, abussive, dan lain-lain.

Ketidakhadiran ayah di sini adalah kehadiran fisik dan psikologis. Jadi, tidak semata ada-tidaknya ayah secara fisik, namun juga secara mental dan batin dalam tumbuh-kembang anak.

"Father hunger" bisa terjadi pada anak dengan ayah yang hadir secara fisik, namun tidak secara mental karena abussive dan tidak peduli anak. Atau bisa juga, ayah hadir namun ayah terlalu sibuk dengan handphone dan tak mau terlibat sama sekali dalam pengasuhan anak.

Sebaliknya, ada ayah yang tidak bisa hadir secara fisik, namun tetap hadir secara mental untuk anak-anaknya. Hal ini mengingatkan saya pada buku Sabtu Bersama Bapak yang ditulis Adhitya Mulya.

Dalam buku tersebut diceritakan seorang ayah yang meninggal karena kanker. Namun, sebelum meninggal, ayah ini sempat membuat seri rekaman video yang berisi pesan dan nilai kehidupan untuk kedua anak lakinya. 

Kalau membaca bukunya atau melihat filmnya, kita akan tahu bahwa sosok ayah ini selalu hadir di setiap fase kehidupan anak melalui video yang diputar setiap hari Sabtu.

Jadi, "father hunger" ini tak bisa digeneralisasi berdasar faktor kehadiran fisik semata. Banyak contoh anak yang ayahnya meninggal, namun sang ibu mampu menjadi single parent dan menggantikan sosok ayah. 

Ada juga pasangan yang bercerai, namun tetap bersama-sama bertanggung jawab dan bergantian mengasuh anak. 

Atau juga anak yang karena pekerjaan ayahnya (pelaut, tambang offshore ), namun tetap dekat dengan ayahnya.

Ada juga ketika ayah tak bisa hadir secara fisik dan psikologi, kehadirannya tergantikan dengan kakek atau paman.

Mungkin sejalan dengan kemajuan pengetahuan psikologi dan parenting, kesadaran pentingnya sosok ayah ini juga semakin meningkat sehingga banyak orangtua menjadi bijak.

Yang ironis menurut saya adalah ketika ayah hadir secara fisik namun tidak hadir secara psikologis untuk anak. Sesuatu yang mungkin saja terjadi saat ini. Misalnya ayah yang terlalu sibuk dengan dirinya, sibuk dengan pekerjaannya, tidak mau repot, tidak fokus pada keluarga, atau mungkin sibuk dengan  "pacar"nya (hadehhh...).

Peran Ayah dalam Pengasuhan

Umumnya, kita menganggap bahwa tanggung jawab pengasuhan itu terletak di pundak para ibu. Ayah bertugas untuk bekerja mencari nafkah keluarga, padahal senyatanya tidak begitu. Ayah harus berperan dalam pengasuhan anak.

Seringkali, kita pun terjebak pemikiran serupa. Coba cek WA grup sekolah anak, banyak ibu-ibu kan? Bahkan tak ada satu pun ayah yang bergabung. Atau saat terima rapor dan acara sekolah (selain kelulusan), lebih banyak ibu-ibu yang hadir.

Hal itu tak sepenuhnya salah karena seringnya ibu yang punya waktu. Namun tak bisa dipungkiri bahwa pola pikir kita pun masih seperti itu, "ibu mengurus anak, ayah bekerja". 

Bahkan ada contoh ekstrim di mana seorang ayah tak mau tahu urusan anak. Istilahnya "tidak mau pegang anak". Pulang kerja tak mau diganggu saking sibuknya, diajak main anaknya malah meminta suster untuk menemani anak, asyik main game atau handphone sendiri dan seterusnya.

Padahal peran ayah dalam pengasuhan sangatlah penting. Banyak nilai-nilai moral dan kehidupan yang seharusnya diajarkan oleh ayah. Kemampuan mengambil keputusan, keberanian mengambil resiko, ketekunan, dan lain-lain.

Saya sendiri bersyukur, ayahnya anak-anak tipe ayah yang sayang dan perhatian kepada anak-anak. Tak segan dan malu jika memang punya waktu akan datang ke sekolah anak-anak. Sering juga sengaja meluangkan waktu untuk hadir saat ada acara di sekolah. Biasanya jika si sulung pentas atau ulang tahun.

Biasanya hari pertama sekolah pasti menyempatkan untuk mengantar hingga masuk ke kelas dan bertemu wali kelas. 

Memang tak semua acara bisa hadir, tapi sebisa mungkin dan jika memang tidak sibuk dengan tugas penting kantor selalu menyempatkan datang.

Kehadiran kami di sekolah anak. Kiri: acara sport day. Kanan: hari pertama sekolah tahun tahun 2019. (Foto: dokpri MomAbel)
Kehadiran kami di sekolah anak. Kiri: acara sport day. Kanan: hari pertama sekolah tahun tahun 2019. (Foto: dokpri MomAbel)
Seringkali kami datang berdua. Terlihat lebay mungkin di mata orang, tapi inilah cara kami mengasuh anak dan menghargai waktu yang ada. Kami berusaha memberi sentuhan cinta untuk setiap momen penting anak. 

Ada yang mengatakan WAKTU adalah hadiah terbesar orangtua untuk anaknya di zaman ini.

Saya berharap dengan adanya attachment dengan ayahnya, anak perempuan saya punya gambaran yang baik saat mencari pasangan hidupnya. 

Dan untuk anak laki-laki saya, dia belajar maskulinitas dari ayahnya dan bagaimana memperlakukan pasangan hidupnya. 

Hmmm.... jauh banget yak? Hihihi... tapi justru di sinilah urgensinya karena "father hunger" dapat berakibat pada rendahnya rasa percaya diri, ataupun cara anak berelasi di masa depan nanti.

Perlunya Waktu Berkualitas Ayah Bersama Anak

Kesibukan ayah bekerja setiap hari membuat waktu bersama anak menjadi sedikit dan kurang. Apalagi jika pergi sebelum anak bangun dan pulang setelah anak tidur. Anak tak sempat bertemu ayahnya.

Ada juga keluarga yang LDM (long distance marriage) di mana ayah bekerja di luar kota atau luar negeri dan anak bersama ibunya. Tentu ini menyebabkan kehadiran fisik adalah hal yang sulit.

Saya pernah mengalami, baik LDM (meskipun sebentar) ataupun suami yang pergi subuh dan pulang tengah malam. 

Puji syukur semua terlewati dengan pindah kerja dan pindah rumah yang kami usahakan dan doakan waktu itu.

Dari perbincangan Parentalk, menurut psikolog Deniar, sebenarnya yang lebih penting adalah KUALITAS dari pertemuan antara ayah dan anak. Bagaimana sikap ayah terhadap anak saat bertemu.

Pada hari kerja mungkin tak banyak waktu, namun pada akhir pekan atau waktu liburan ayah harus berusaha dekat dengan anak. 

Waktu yang berkualitas ini bisa dilakukan dengan bermain bersama anak, berdiskusi dengan anak, atau melakukan hobi bersama.

Seringkali, saat hari libur saya "sodorkan" anak-anak ke ayahnya. Meskipun hanya ke minimarket ataupun beli makanan. 

Dulu sewaktu masih ada les offline di hari Sabtu, biasanya ayahnya yang mengantar si sulung les.

Anak-anak bermain bersama papanya saat libur. (Foto: dokpri MomAbel)
Anak-anak bermain bersama papanya saat libur. (Foto: dokpri MomAbel)
Selain memberi waktu buat saya untuk "me time", biasanya mereka punya cara sendiri untuk bersenang-senang. 

Dulu sebelum pandemi, sering dengan ayahnya mereka bermain di wahana permainan, minta jajan ini dan itu, dan ngobrol-ngobrol berdua atau bertiga.

Kami punya "father and daughter time", "father and son time", "dan father and kids time". Tapi itu istilah saya sendiri kok. Hehehe... 

Dan hal ini bukan hanya berupa foto bersama ayahnya dan diunggah di media sosial ya. Tapi, benar-benar komunikasi antara ayah dengan anaknya.

Pada dasarnya, saya ingin mereka punya waktu intim dengan ayahnya supaya belajar nilai hidup dan maskulinitas yang tidak bisa mereka dapatkan dari saya. Tentunya dengan cara ini mereka tak mengalami "father hunger".

Sekian sharing dari saya. Semoga bermanfaat.

Referensi : klik disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun