Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Cerdas Menyoal Interaksi Obat, Tak Semua Merugikan

17 Juli 2021   07:23 Diperbarui: 17 Juli 2021   08:39 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi obat (Foto: pixabay.com)

Beberapa hari lalu heboh berita mengenai seorang oknum dokter yang konon tak percaya Covid-19 dan mengatakan penyebab kematian pasien Covid-19 adalah adanya interaksi obat. Kurang lebih begitu karena saya tak memperhatikan dan tidak tertarik untuk berpanjang-lebar masalah oknum dokter tersebut.

Hanya saja, sebagai lulusan farmasi rasanya ikut gemes. Akhirnya tadi siang, saya menonton youtube wawancara Prof. Dr. Apt. Zullies Ikawati : "Apakah Interaksi Obat Penyebab Kematian Pasien Covid-19?".

Sumber: Youtube

Bagi yang ingin tahu bisa segera meluncur ke link youtube ini. Disitu Prof. Zullies memberikan jawaban yang gamblang dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh awam.

Interaksi Obat

Bagi mahasiswa Farmasi, istilah interaksi obat bukankah hal baru. Banyak mata kuliah yang membahas permasalahan interaksi obat ini. Interaksi obat sering berkaitan dengan tata laksana terapi dan penggunaan obat yang rasional. Jaman saya dulu dikupas tuntas di program profesi dengan mata kuliah Farmakoterapi. Tapi dasar-dasarnya ada di S-1.

Definisi interaksi obat adalah pengaruh dari suatu obat ketika bercampur dengan obat lain dalam satu terapi. Interaksi obat tak selalu bermakna negatif dan merugikan. Beberapa obat justru ketika berinteraksi memberi keuntungan dan bersinergi dalam terapi pasien.

Mahasiswa farmasi selalu belajar interaksi obat karena seringkali terapi pada pasien berupa kombinasi obat. Misalnya saja pada pasien penyakit metabolit seperti hipertensi dan diabetes melitus.

Bagaimana interaksi obat dalam terapi Covid-19? Menurut Prof. Zullies, tidak ada interaksi obat yang digunakan dalam terapi Covid-19.

Namun lagi-lagi bukan netizen negeri plus enam-dua jika tidak ngeyel dan sok tahu. Bahkan ada juga yang mengatakan penyusun tata laksana terapi Covid-19 itu bodoh. Hmmm... elus dada!

Analisa Interaksi Obat

Saya menyadari sebuah keterbatasan. Disini tidak akan membela siapa-siapa karena sedikit-banyak dengan mudahnya akses informasi, semua orang bisa belajar. Sayangnya, justru dari sinilah mereka merasa sudah paham dan merasa pinter.

Kembali ke masalah interaksi obat, saya akan menceritakan peran apoteker komunitas (di apotek atau di RS). Seorang apoteker bukankah penjual obat atau pelayan obat. Ini yang seringkali disalah-artikan masyarakat.

Ketika mereka menerima resep dari dokter, apoteker tidak hanya membaca resep dan kemudian mengambil atau meracik. Mereka akan melakukan analisa atas resep tersebut dengan melihat umur pasien, diagnosa, dan lain-lain. Dari data tersebut, apoteker akan tahu apakah obat sesuai atau tidak, ada interaksi obat atau tidak, rasional atau tidak.

Jika memang ada yang kurang tepat, seorang apoteker akan memberitahukan kepada dokter. Dokter yang akan memutuskan apakah akan diganti, dihilangkan, dan seterusnya. Disinilah peran dua profesi saling berkomunikasi dan mendukung.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa masalah interaksi obat ini bukan hal baru. Bagi apoteker dan dokter, masalah interaksi obat sudah menjadi pemahaman yang komprehensif dalam tata laksana terapi.

Jika sekarang masalah interaksi obat ini heboh, itu karena ada yang membuatnya heboh! Sangat disayangkan respon masyarakat juga heboh dan menjadi sesat pikir.

Tata Laksana Terapi pada Pasien itu Ada Prosesnya

Saya bukan dokter, tetapi sependek yang saya tahu dokter selalu menggunakan bukti medis dalam menegakkan diagnosa. Jadi bukan dengan ilmu "kira-kira". Bukti medis ini bisa hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, hasil rontgen, dan lain-lain.

Dengan era sekarang dimana informasi tersebar dengan random, bahkan acuan terapi untuk pasien pun ikut tersebar di dunia maya, masyarakat menjadi melek informasi. Tak ada yang salah. Saya hanya menyayangkan respon sok tahu dari masyarakat.

Misalnya, untuk sakit Covid-19 obatnya adalah A, B, C, D. Orang kemudian langsung memburu tanpa konsultasi dengan dokter. Padahal orang tersebut ada komorbid atau sedang konsumsi obat lain.

Haloooo... jika terapi penyakit itu seperti itu, tak perlu ada dokter dong! Untuk apa dokter sekolah lama dan susah? Masyarakat tidak memahami bagaimana sebuah terapi itu dilaksanakan dan pentingnya konsultasi dengan dokter.

Dalam setiap terapi selalu dipertimbangkan benefit dan resiko. Dokter akan melihat kondisi dan riwayat penyakit pasien.

Setiap obat punya efek samping yang tak selalu timbul. Namun, bisa saja timbul pada pasien tertentu. Tubuh manusia itu kompleks. Inilah yang kurang dipahami awam.

Ada lagi yang teriak-teriak bahwa Covid-19 itu disebabkan oleh virus dan bukan bakteri. Lalu mereka mengatakan jangan pakai antibiotika, antibiotika itu untuk bakteri. Hmmm... elus dada!

Apa yang dikatakan memang sekilas terlihat benar, tapi dalam terapi tidak sesederhana itu! Apakah tahu jika antibiotika azitromisin pun punya efek sebagai antiviral meski kurang adekuat? Covid-19 itu bisa jadi disertai infeksi sekunder oleh bakteri juga. Apa infeksinya tidak ingin diobati?

Karenanya, jangan heran jika dapat obat banyak berupa kombinasi karena kondisinya pasien beda-beda. Inilah pentingnya tahu interaksi obat bahwa terapi obat itu tidak berarti A diobati B kemudian sembuh.

Menjadi Masyarakat yang Cerdas

Mari kita menjadi masyarakat yang cerdas. Sekiranya kita punya pengetahuan, semua bisa ditanyakan kepada dokter. Sejauh ini, dokter selalu menjelaskan jika saya tak paham dan bertanya. Terlebih untuk Covid-19, mereka bekerja secara tim yang selalu mereview dan memonitor tata laksana terapi.

Covid-19 adalah penyakit baru yang masih terus diteliti. Pastinya ini akan memberi dampak yang dinamis dalam proses terapi dan pemilihan obatnya.

Hilangkan prasangka buruk dan sikap sok tahu. Terapi pada pasien bukan untuk memuaskan teori cocokologi. Semua berdasar nalar, bukti, dan prinsip terapi.

Sebagai penutup, sekarang sudah ada panduan terapi Covid-19 yang baru. Oseltamivir tidak lagi menjadi terapi utama namun hanya digunakan untuk pasien dengan ko-infeksi influenza. Sedangkan, azitromicin hanya untuk kasus suspek yang berat dan kritis dengan kecurigaan ko-infeksi dengan mikroorganisme.

Tapi jangan GR ya, perubahan ini bukan karena koar-koar soal interaksi obat! Bukan. Tapi memang dari hasil review dari 5 organisasi profesi kedokteran. Tolong dicatat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun