Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menyelami Makna Peribahasa Jawa "Jer Basuki Mawa Beya"

14 Juni 2021   06:00 Diperbarui: 16 Juni 2021   04:30 13690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jer basuki mawa bea ( Foto ilustrasi : pixabay.com/paseidon)

Dibesarkan dalam budaya Jawa membuat saya "kaya" dengan banyak filosofi hidup. Secara singkat, padat, dan jelas, filosofi Jawa diajarkan lewat peribahasa.

Peribahasa Jawa meskipun sederhana, tapi maknanya sangat dalam. Bahasa Jawa sendiri saya pelajari hingga di bangku SMP. Karenanya, ada beberapa peribahasa yang saya ingat dan terus saya hidupi hingga sekarang.

Beberapa yang saya ingat, satu diantaranya adalah "jer basuki mawa beya" . Peribahasa ini hampir semua orang Jawa orang tahu. Teristimewa bagi saya peribahasa ini sudah menjadi salah satu prinsip hidup.

Makna "Jer Basuki Mawa Beya"

Secara harafiah, kalimat "jer basuki mawa beya" sebagai berikut :

jer : memang
basuki : sukses, berhasil, bahagia, enak
mawa : membutuhkan, perlu
beya : biaya, dana, harga

Jadi, secara sederhana peribahasa ini berarti bahwa kesuksesan itu membutuhkan biaya.

Sedangkan, secara mendalam "beya" yang berarti biaya, dana, dan atau harga tidak selalu diartikan dalam hal materi atau uang. Secara luas, "beya" menunjukkan adanya sebuah pengorbanan. Bisa pengorbanan secara materi, namun bisa juga doa, waktu, perjuangan, kerja keras, dan lain-lain.

Singkatnya, jer basuki mawa beya berarti bahwa sebuah pencapaian itu membutuhkan pengorbanan. Oleh karena itu, kita harus gigih untuk berusaha dan memperjuangkannya.

Peribahasa ini sering mengingatkan saya bahwa jika kita tidak melakukan apa-apa tentu juga tak ada mendapatkan apa-apa. Ibaratnya hidup enak itu bukan sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit. Namun, ada usaha yang menyertainya.

Pelari marathon. Untuk bisa mengikuti lomba marathon, mereka harus berlatih secara rutin setiap hari (Foto : pixabay.com/petterujokela)
Pelari marathon. Untuk bisa mengikuti lomba marathon, mereka harus berlatih secara rutin setiap hari (Foto : pixabay.com/petterujokela)
Pengorbanan vs Privilege

Milenial sekarang ini seringkali meributkan masalah privilege. Ya, menurut saya privilege itu memang ada. Tapi apakah hanya karena kita tidak punya privilege kemudian tidak mau berjuang?

Seseorang yang mempunyai privilege memang punya peluang lebih besar untuk berhasil. Akan tetapi, bukan jaminan pasti berhasil kan? Bahkan, mereka pun tetap harus berjuang dan berkorban.

Acapkali masalah privilege ini membuat orang merasa "iri" dan merasa adanya "ketidak-adilan". Namun, menurut saya kok konyol ya? Dalam hidup ini selalu ada hal-hal yang tidak bisa kita ubah.

Kita tidak pernah bisa memilih lahir dari siapa? Apakah orangtua kita kaya atau miskin? Apakah orangtua kita pejabat atau pengusaha? Namun, kita bisa memilih untuk menjadi seperti apa? Orang yang tough dan mau berjuang atau orang yang kurang bersyukur dan mengeluh terus?

Mengenal adanya "batas"

Suatu kali saya menyimak yang heboh di twitland. Ada seorang yang mengeluhkan bahwa beasiswa ke luar negeri itu hanya untuk orang kaya.

Dia bercerita panjang-lebar mengenai segala persyaratan untuk memburu beasiswa. Intinya adalah banyak tetek-bengek persyaratan yang membutuhkan biaya sangat mahal. Tes TOEFEL contohnya. Belum ditambah biaya untuk visa, legalisir ijazah, dan seterusnya.

Yang menjadi keluhan utama adalah tingginya semua biaya tersebut dan itu belum tentu diterima. Dia merasa bahwa hanya anak orang kaya dan yang punya privilege yang bisa mengejar beasiswa ini karena tidak ada kendala biaya.

Hmmm... disatu sisi ada benarnya. Namun, ketika melihat sisi lain menurut saya kok terlalu emosional. Jika memang ingin mengejar dan yakin, ya maju saja. Kalau toh gagal setidaknya pernah mencoba dan berjuang.

Tak ada usaha yang sia-sia di dunia ini. Pasti ada "sesuatu" yang akan kita dapatkan meskipun dalam bentuk kegagalan.

Orang yang punya privilege karena orangtuanya kaya toh tetap berjuang dan melakukan hal yang sama. Belum tentu juga dia diterima. Apakah kalau dia tidak diterima lantas tidak sedih? Sedih juga kan?

Apakah karena kaya kemudian tidak merasa rugi mengeluarkan semua biaya? Hmmm... belum tentu juga? Kalau cara berpikirnya untung-rugi bisa jadi dia malah tak akan mencobanya.

Saya sendiri sedari dulu belajar untuk mengenal "batas". Batas yang menunjukkan sejauh mana sesuatu itu layak diperjuangkan. Atau sebaliknya batas dimana sesuatu itu menjadi dipaksakan.

Tentu saja sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik. Jadi, sepanjang kita tahu batas kemampuan dan usaha kita sebaiknya kita kejar. Tapi kalau sudah memaksakan diri, semuanya akan terasa melelahkan dan mungkin malah mendatangkan penderitaan.

Kembali lagi pada peribahasa "jer basuki mawa beya". Kalau saya punya cita-cita atau keinginan, saya akan selalu memperjuangkannya, meskipun harus hidup prihatin dan susah dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun